header permata pengalamanku

Sayangi Kami, Jangan Eksploitasi Kami

21 komentar

Anak-anakku suka sekali hewan. Tentu saja aku mendukung kegemaran mereka ini. Karena berinteraksi dengan hewan, selain menambah pengetahuan mereka tentang dunia fauna, juga mengasah empati kepada sesama makhluk hidup.

Karena kecintaan mereka pada hewan, tak heran mereka suka sekali memeliharanya. Mulai dari kucing yang biasanya diangkut diantara para kucing kampung yang berkeliaran di komplek. Juga beberapa hewan favorit mereka seperti ikan, kelinci dan kura-kura silih berganti ikut menghuni rumah bersama kami.

Silih berganti? Ya, begitulah. Kami memang sebenarnya bukanlah keluarga yang sangat lihai dalam mengurus berbagai jenis hewan. Tak heran jika kebanyakan para hewan itu tidak dapat bertahan lama selama dalam pemeliharaan kami. Huhuhu... 

Adakah yang mau berbagi dengan kami cara merawat hewan? Agar ke depannya makin banyak hewan yang bahagia saat kami piara. Selama ini kami berusaha menimba ilmunya dari membaca, bertanya pada yang berpengalaman, dan selebihnya memanfaatkan insting saja untuk mengetahui kebutuhan para hewan ini dan bagaimana cara memenuhinya. Jadi, tentu saja kami akan sangat senang jika ada yang bersedia turun tangan mendidik kami tentang cara menangani hewan. 

Hidup Sesuai Habitatnya Adalah yang Terbaik Bagi Hewan 

Yang biasanya aku jadikan pegangan adalah sebisa mungkin kami menyediakan makanan dan lingkungan yang sesuai dengan kondisi asalnya. Karena bagaimana pun, dalam anggapanku pribadi, setiap hewan telah dibekali potensi masing-masing untuk mengenali makanan yang terbaik baginya dan bertahan hidup di tengah berbagai ancaman ingkungan di sekitarnya.

Makanya, ketika menemukan kucing liar, misalnya, aku akan mencoba memberinya makan mulai dari daging mentah. Karena asalnya kucing adalah hewan karnivora. Dan biasanya mereka mendapatkan makanannya dengan cara berburu. Dinikmati mentah-mentah tanpa perlu dimasak. Memangnya pernah lihat kucing memasak dulu makanannya sebelum disantap? Hihihi...

Kecuali kalau Si Kucing menampakkan tanda tidak suka. Barulah dicoba menu yang lain. Misalkan ikannya digoreng. Karena bisa jadi, kehidupannya yang sejak kecil tumbuh di lingkungan metropolitan membuat selera makannya berubah. Hehehe...

Hal itu pula yang membuatku mengajarkan anak-anak untuk rela jika suatu saat ditinggal hewan piaraannya untuk hidup di alam bebas. Ya, saat para hewan itu sudah lebih kuat, lebih sehat dan lebih besar, bisa jadi mereka mulai mengikuti naluri alaminya untuk berjuang meneruskan fase hidupnya di luar, bukan dalam buaian lembut para anak manusia di bawah naungan yang teduh dan makanan yang selalu siap sedia.

Dan kadang kala, kami pun harus rela mengakui keterbatasan kami merawat beberapa jenis hewan. Hingga mengetahui bahwa lebih baik hewan-hewan itu dirawat oleh ahlinya di tempat yang lebih lengkap dan ramah fasilitasnya seperti kebun binatang, penangkaran, hutan lindung dll. 


Maka, kami lebih memilih untuk mengenal dan berinteraksi dengan beberapa jenis hewan tertentu melalui kunjungan ke tempat-tempat di mana para hewan tersebut dipiara dengan baik. Kami memberi makan rusa di penangkaran, berlatih memberi susu buat bayi domba dan kambing di area wisata edukasi, juga menjenguk aneka burung dan hewan laut langsung di habitatnya masing-masing. Dari sana anak-anak semakin memahami bahwa lingkungan yang sesuai akan membuat para hewan merasa lebih baik daripada harus kita paksakan memeliharanya sendiri di rumah.

Hewan Sebagai Bisnis Hiburan?

Menyukai hewan tentu tak lepas dari kesenangannya melihat tingkah laku lucu para hewan. Apa lagi jika perilaku menggemaskan tersebut dikemas dalam bentuk pertunjukan. Anak mana yang tak tertarik?

Termasuk anak-anakku. Tentu saja mereka sangat ingin menonton langsung begitu pertama kali mendengar istilah sirkus. Yang paling membuat mereka penasaran adalah pertunjukan lumba-lumba. Maklum saja, karena memang hewan besar ini bukan yang bisa sehari-hari kita lihat langsung ya. Cara paling mudah untuk menyaksikannya ya melalui pertunjukan sirkus.

Dan aku pun terus menghindar untuk mengabulkannya. Karena aku ragu mengingat berbagai rumor tentang penyiksaan hewan dalam sirkus. Apa lagi jika yang mereka tunjuk adalah lembaran iklan sirkus keliling. No way!
Sudah terbayang itu bagaimana para lumba-lumba digotong ke sana ke mari. Dengan akuarium seluas lautan? Pastinya tidak, kan?

Dan setelah bertahun-tahun mereka merengek, akhirnya aku mempertimbangkan untuk mengabulkannya. Tentu saja pilihanku bukan yang berupa sirkus keliling atau sirkus yang hanya berlangsung secara insidentil. Aku memilih pertunjukan sirkus yang memang rutin berlangsung tiap minggu. Dengan asumi bahwa para hewan sirkus di sana semestinya sudah mendapat tempat tinggal permanen dan dirawat dengan baik oleh ahlinya.

Pilihanku jatuh pada pertunjukan lumba-lumba di Taman Safari 2 Prigen, Pasuruan. Bisa ditebak bagaimana gembiranya raut muka anak-anak sambil menunggu acara dimulai dan para lumba-lumba beraksi. Pasti mereka girang sekali!

Yakin? Tanpa disangka, begitu lumba-lumba muncul berjumpalitan ke sana-ke mari, semua anak-anakku menatap tegang! 
Seru? Bukan, tampaknya bukan begitu. Mereka hanya menatap nanar ke arah lumba-lumba. Tidak ada antusiasme. Tidak ada keriangan. Tenggorokan mereka begitu tercekat di tengah keriuhan atraksi. Mereka bahkan seperti... menangis!  

Usai acara, aku tanya pendapat mereka tentang pertunjukan tadi, satu per satu secara terpisah. Ajaibnya, dengan roman muka yang masih tegang dan mata berkaca-kaca, ketiga anakku mengungkapkan hal yang semisal terkait Sang Lumba-Lumba.
"Umi, lumba-lumbanya kasihan..."
"Umi, lumba-lumbanya takut. Suara musiknya keras sekali."
"Umi, lumba-lumbanya sedih, dia kesepian..."
"Umi, lumba-lumbanya ngga suka di situ. Dia ingin sama ibunya..."

Entah mengapa ketiganya bisa membaca hal yang senada dari kondisi Si Lumba-Lumba. Saat aku menawarkan kepada mereka untuk menonton pertunjukan lumba-lumba lagi di lain hari, mereka menggeleng lemah.

Begitu pun dengan atraksi Topeng Monyet. Anak-anak juga bersorak-sorai mengikuti Topeng Monyet seperti teman-temannya. Hingga akhirnya diputuskan untuk menggelar atraksi di jalan depan rumahku.

Begitu monyet mulai beraksi, anak-anakku menampakkan respon yang berbeda dari teman-temannya. Mereka hanya tertegun. Tak lagi bergembira penuh rasa penasaran seperti sebelumnya.
Saat aku menanyakannya pada mereka tentang atraksi tersebut, hanya helaan nafas berat sebagai jawabannya. Dan ketika di hari lain kembali suara tabuhan Topeng Monyet terdengar bertalu-talu, mereka sudah tidak tertarik lagi menontonnya.

Hewan sebagai hiburan? Ya, sebenarnya salah satu yang membuat anak-anak menyukai hewan adalah karena fungsi hiburannya. Tingkah laku hewan yang seringkali lucu membuat mereka betah berinteraksi berlama-lama, mencoba ini dan itu serta mengajarkan sesuatu pada hewan piaraannya.

Namun rupanya mereka juga tidak suka jika hewan diperlakukan secara semena-mena. Mereka menjadikan hewan sebagai hiburan sekaligus untuk menghibur para hewan itu sendiri. Mereka tak suka eksploitasi.
Tanpa aku pernah berbusa-busa menerangkannya, mereka sudah menangkap sendiri perbedaannya antara perlakuan yang baik dan yang buruk terhadap hewan. Dan mereka tahu bagaimana harus bersikap.

Caraku Mengajarkan Penolakan Terhadap Eksploitasi Hewan

Yang aku lakukan sepertinya hanyalah penguat dari jalan yang telah dipilih sendiri oleh anak-anak. Kami suka hewan. Kami ingin menyayanginya, namun tidak mengeksploitasinya. Kami menghindari tindakan eksploitasi tersebut dengan cara antara lain:

1. Memperlakukan Hewan Sedekat Mungkin dengan Kehidupan Aslinya

Dalam menyediakan makanannya, tempat tinggalnya, cara berinteraksi dengan mereka, semua kami coba untuk sesuaikan dengan teori yang kami baca tentang kehidupan hewan yang bersangkutan agar para hewan tidak merasa tersiksa oleh perlakuan kami.

Tak perlu lah hewan ditempatkan pada posisi yang tidak seharusnya. Apa lagi dengan cara yang menyiksa dan tidak lazim dalam kehidupannya. Misalnya, dengan menjadikan harimau sebagai maskot untuk berfoto bersama. Jika harimaunya bisa turut menikmati aktivitas tersebut, ya silakan saja. Namun jika untuk memenuhi permintaan banyak pengunjung dan menjaga agar harimau tidak bereaksi menyerang kemudian Sang Harimau disuntik obat tidur atau sejenis narkotika, itu sungguh keterlaluan!

2. Selektif Memilih Atraksi Hewan untuk Ditonton

Mungkin tidak semua bentuk tontonan yang melibatkan hewan berisi eksploitasi di dalamnya. Kami semata mengandalkan insting untuk mengindera apakah para hewan di dalam atraksi mendapatkan perlakuan yang baik atau tidak. Jika memang atraksi tersebut merupakan sarana menyenangkan bagi mereka untuk berolahraga dan berinteraksi dengan lingkungan, tentu kami pun senang menikmati aksinya.

3. Tidak Membeli Barang Mewah Hasil Eksploitasi Hewan

Ya kalau barang tersebut memang kita butuhkan dan berasal dari hewan-hewan yang mudah dikembangbiakkan, serta diambil dengan cara yang baik sih tentu tidak masalah ya. Misalnya kursi yang dilapisi bahan kulit sapi, kemoceng dari bulu ayam, bantal berisi bulu angsa atau mantel dari wol domba. Tapi jika itu dibuat dari gading gajah, kulit macan atau yang semisalnya untuk kepentingan aksesori semata, buat apa?

Tak banyak memang yang bisa kami lakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi eksploitasi terhadap hewan. Namun setidaknya, yang sedikit ini semoga bisa mengajarkan pada diri kami banyak hal. Apakah Anda punya ide, aksi apa lagi yang bisa kami lakukan? Beritahu kami di kolom komentar, ya. Terimakasih banyak sebelumnya.

Related Posts

21 komentar

  1. aku suka miris dama topeng monyet di jalanan , duh kayaknya melas banget lihat monyetnta

    BalasHapus
  2. Wah bunda hebat ikh bisa ngajarin anak-anaknya punya rasa empati yang begitu tinggi bahkan kepada hewan. Aduh semoga saya juga bisa ngajarin erysha yang begitu tinggi juga ya. Aaaminnn

    BalasHapus
  3. aku juga sering sedih dan nggak tega gitu liat topeng monyet, sirkus hewan keliling atau ayam ayam yang dicat warna warni. setuju banget mbak sama langkah langkahnya itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. anak ayam warna-warni itu tersiksa kah karena catnya? mungkin tersiksa karena sehari-harinya biasanya dikasi makan minim ya :(

      Hapus
  4. Alhamdulillah, akhirnya memberanikan diri mengadopsi kitten.
    Nanti aku kenalkan dengan si Polly ya mbak Farida ^^

    Salam sore dari Lombok ^^

    BalasHapus
  5. Semoga, makin banyak yg sadar ttg hal ini y mbak.. dan saya setuju sekali untuk mengajarkannya sejak dini pada anak2.. Salut mba..

    BalasHapus
  6. Ingat dulu waktu kecil punya kekinci dan kucing di halaman belakang rumah ortu dan ingat ikanku di kolam rumah semarang heuheu

    BalasHapus
  7. Ingat dulu waktu kecil punya kekinci dan kucing di halaman belakang rumah ortu dan ingat ikanku di kolam rumah semarang heuheu

    BalasHapus
  8. Anakku pernah pengen pelihara burung, aku bilangbkasianmasa mereka ditaruh di kandang sempit. Udahlah kucing kampung aja yg paling gampang 😁😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. Kucing kampung pilihan favorit ya😀

      Hapus
  9. Di rumah kemarin sempat banyak kucing. Ada 10 an. Cuman sekarang tinggal 4

    Kalo ditotal masih ada semua, bisa 20 an. Ada yang mati, dicuri. Silih berganti lah Mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. Toss! Sampe kucing tetangga pun nongkrongnya di sini

      Hapus
  10. Kalo aku sama keponakan sering cari rumput untuk makan kambing milik tetangga. Maklumlah, orang desa. Tapi kalo ada kucing kampung yang kurus gitu emakku selalu bilang kasihan kucingnya terus diberi makan ikan asin deh kucingnya.

    BalasHapus
  11. pemerintah saja peduli terhadap hewan karena hewan tersebut kita jadi mengetahui bahwa anak cucu kita mempunyai hak yang sama yaitu melihat hewan yang sekarnag kita lihat. sakiti hewan sama saja seperti menyakiti ciptaan nya

    BalasHapus

Posting Komentar