header permata pengalamanku

My Journey to Syar'i, The Neverending Story

84 komentar

Langkah Pertama: Perkenalan


Berhijab? Sungguh, itu suatu hal yang sangat jauh dari pikiranku, dulu. Tahun 1993, aku masuk SMP. Di kelas, ada 3 temanku yang konsisten berkerudung. Baik saat bersekolah maupun di rumah. Aku menganggap hal ini sebagai pilihan busana saja.


Hingga suatu hari, sekolah meminta para siswa baru untuk membawa fotokopi ijazah SD dan mengumpulkannya pada ketua kelas masing-masing. Ketiga temanku itu tampak ragu. Setelah memperingatkan Didik, ketua kelasku, agar tidak memandangi fotonya, barulah ijazah itu terkumpul.

“Ada apa?” tanyaku pada salah satunya yang kebetulan duduk di belakangku.
“Aku malu kalau fotoku dilihat lelaki,” jawabnya agak kawatir.
Ah, semua juga nggak ada yang kelihatan cakep kok, kalau di pas foto. Santai aja,” aku berusaha menghiburnya.

“Bukan begitu. Kan auratku kelihatan. Saat SD, sekolah melarang murid-muridnya memakai jilbab,” jelasnya. Aurat? Dan diskusi pun mengalir. Tentang batasan aurat, yang ternyata berlaku bagi semua perempuan. Busana muslim bukan sekadar sebagai penanda bagi yang rajin belajar agama.


Menarik! Tapi, haruskah aku memakainya juga? Tidakkah lebih baik aku membenahi amalan yang lain dulu? Lambat laun, masalah hijab pun semakin tidak mengusikku.

Langkah Kedua: Penolakan


Pun ketika aku masuk SMU. Aku sebenarnya tertarik mengikuti aneka kegiatan yang diadakan Sie Kerohanian Islam. Ya, aku bersyukur terlahir sebagai Muslim, dan ingin mendalami ajaran agamaku agar bisa terus memperbaiki diri. Namun itu tak lantas membuatku mau berhijab.

Hingga kemudian di awal kelas 3, seorang temanku memasuki kelas dengan seragam yang menutup auratnya dengan rapi. Dia adalah siswa pertama yang berhijab di kelasku. Beberapa bulan kemudian, temanku yang lain pun mengikuti jejaknya.

“Pal, kamu kapan berjilbab?” Tanya temanku yang saat itu juga belum berhijab.
Hmm.. Haruskah? Aku belum terbayang kapan,” jawabku ragu.
“Kalau aku, nanti setelah menikah saja,” angannya.

“Kenapa menunggu menikah? Apa bedanya sekarang dengan sesudah menikah?” tanyaku.
Kan kalau sudah menikah, kita harus lebih menjaga diri,” kata temanku.
“Kalau sekarang tak perlu dijaga?” tanyaku.

“Ya dijaga, lah. Tapi kan, kita harus lebih menghormati suami, gitu. Palida segera pakai jilbab aja biar terjaga mulai sekarang. Hehehe…” sarannya.
Ah enggak, ah. Bahkan setelah menikah pun aku nggak ada rencana berjilbab. Aku inginnya pakai kebaya sebagai baju sehari-hariku nanti. Kan kesannya anggun,” jawabku.

Aku memang masih bertekad kuat untuk mewujudkan impianku itu setelah menikah nanti. Namun istilah yang dipilih oleh temanku cukup mengganggu pikiranku. “Menjaga.”

Berhamburanlah memori tentang bagaimana para lelaki yang kerap menoleh ke arahku. Ada yang diam-diam, ada yang terang-terangan. Bahkan ada yang bertindak lebih dari itu. Dengan sapaan menggoda atau bahkan tangan yang nakal. Huh!

Tentu saja aku tidak suka semua itu. Kalau saja ada cara untuk membuat mereka mengabaikanku, hingga aku bisa berjalan lebih tenang…

Langkah Ketiga: Teguran


Ada kalanya manusia segera menoleh kepada-Nya saat dipanggil. Namun banyak juga yang pura-pura tuli seperti aku. Sehingga harus ditegur dengan sebuah lemparan batu dari atas, agar mengaduh dan reflek mendongak walau dengan hati gusar.

Maka, tibalah titik itu. Saat di mana aku merasa semua masalah datang bertubi-tubi. Dan tak ada satu pun yang dapat kuajak bicara apa lagi meminta tolong. Karena semuanya sedang bermasalah denganku! Pelajaran berantakan, teman-teman yang bergesekan dan orangtua yang entah ke mana.

Ya, aku memang malas belajar dan jadi uring-uringan dengan hasil nilaiku. Bicara pada teman sebangku pun aku sudah bisa menebak apa katanya nanti, “Makanya to, Far, belajar! Kamu itu sebenarnya pintar, tapi malas.” Ah, bosan! Kalau aku pintar, mestinya aku tak perlu belajar, kan?

Menurutku, ini semua karena para guru yang terlalu ribet saat menilai. Mengapa memangkas langkah perhitungan tidak boleh? Mengapa harus ditulis lengkap? Aku kan tidak membutuhkan langkah sepanjang itu untuk mendapatkan hasil yang sama.

Pelajaran Ilmu Sosial pun lebih mengecewakan lagi. Mengapa jawaban esai harus ditulis dengan kalimat panjang lebar? Mengapa tidak cukup dengan menyebut intinya saja? Dan aku terus kecewa pada setiap orang yang kutemui. Tidak ada satu pun di antara mereka yang beres di mataku. 

Lama-kelamaan, aku lelah menghadapi semua orang. Aku lelah menghadapi hari. Aku lelah menghadapi diriku sendiri. Mengapa aku marah pada semuanya? Mengapa semua orang salah dan hanya aku yang benar? Jangan-jangan, justru sebenarnya aku yang bermasalah.

Ada yang salah dengan diriku. Ada banyak hal yang salah pada diriku. Sepertinya, selama ini aku begitu sombong, kasar, nekad, tidak peduli aturan dan masih banyak lagi. Itulah yang membuatku begitu kacau belakangan ini. Kemudian, aku bingung. Bagaimana cara menyelesaikannya?

Langkah Keempat: Penyerahan



Saat manusia tak ada yang dapat diajak berbicara, siapa lagi yang bisa diandalkan selain Allah? Tapi, ah… Mana berani aku meminta pada-Nya? Aturan-Nya saja banyak yang kulanggar. Salatku terburu-buru. Puasaku sepertinya hanya tentang lapar dan haus saja.

Namun, aku begitu lemah. Sangat membutuhkan bantuan. Kesendirian ini menyiksaku. Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu di hadapan-Nya. Tanpa berani memohon ini-itu. Aku pun sudah tak tahu lagi apa yang baik untukku. Selama ini sepertinya aku terlalu sok tahu tentang keinginanku sendiri.

Masalahku ibarat gulungan benang besar dan sangat kusut. Aku bingung mengurainya. Aku membutuhkan bantuan-Nya. Puas bermalam-malam menangis, aku pun mulai terpikir untuk merayu-Nya. Demi memantaskan diri untuk ditolong. Aku mencari apa yang bisa kuperbaiki.

Salat yang tak khusyu’ kemarin, puasa yang tak bermakna Ramadan lalu, bagaimana memperbaikinya? Aku hanya bisa menata kembali langkah selanjutnya. Salatku wajib lebih berarti. Tindak-tandukku perlu diasah remnya. Keras kepalaku harus ditaklukkan. Lalu, apa lagi?

Langkah Kelima: Pencerahan


Siang itu, aku sedang berkumpul dengan teman sesama Pecinta Alam di sekretariat. Hingga tiba-tiba saja ketua kami menyeletuk, “Da… Da… Rambutmu kok jelek banget, sih?”

Eh, iya ya? Jelek?” tanyaku.
Banget! Malu ih, rambut jelek gitu dipamerin,” katanya tanpa basa-basi.
“Ya, abis gimana, dong. Aku juga malas pakai topi karena pusing,” alasanku.

Tutupin kerudung, dong! Kamu nggak punya, ya? Sini, aku beliin. Asal beneran dipakai, ya. Aku beliin warna putih dan cokelat buat sekolah. Mau, nggak?” ucapnya sungguh-sungguh.
Hmm… Boleh juga. Kamu beliin, ya. Ntar aku pakai,” jawabku antusias.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Penampilan. Ya, penampilanku harus juga diperbaiki. Jika Allah memintaku untuk menutupinya, mengapa tidak kulakukan? Diam-diam, aku mencari buku tentang cara memakai kerudung. Ada! Aku berusaha menghafalnya.

Esoknya, sepulang sekolah, aku minta ikut Mariana, salah satu teman sekelasku yang sudah berkerudung, untuk mampir ke kamar kosnya. Di sana, aku memperhatikan caranya melepas kerudung. Kemudian aku memintanya memakai ulang.

Hah? Buat apa?” tanyanya.
“Aku ingin tahu caranya,” jawabku.
Hei, kamu mau memakai kerudung, ya?” serunya berbunga-bunga.
“Ya enggak kalau kamu cerewet terus. Mana bisa aku memakainya?” sahutku bersungut-sungut. Temanku ini seperti tak peduli. Dia dengan sigap mengajari dan memintaku mencobanya.

Nah, gampang kan?” tanyanya.
Mmm… Iya, sih. Cuma gini aja, ya? Kirain ribet gimana, gitu. Ini nanti nggak lepas begini aja?” tanyaku. Sederet tips memilih dalaman dan bahan kerudung meluncur agar tetap nyaman dan rapi.

“Mar, kamu punya seragam berapa? Kalau ada sisa, aku mau dong, pinjam dulu buat sekolah,” pintaku.
“Oh, O.K. Coba aku tanya teman-teman, ya. Siapa tahu ada yang punya dan pas denganmu,” jawabnya.

Langkah Keenam: Sandungan


Pulangnya, aku diminta menemani Bunda ke rumah salah satu tetangga. Sambil menunggu yang punya rumah datang, kami duduk di halamannya, di bawah pohon yang bergoyang lembut ditiup alunan angin. Tekadku sudah bulat. Kusampaikan keinginanku untuk menutup aurat pada Beliau.

Bunda hanya membisu. Hela nafasnya terdengar berat. Beberapa menit kemudian, keluar juga komentarnya, “Apa tidak cukup dengan memperbaiki yang lain dulu? Berjilbab itu berat, lho. Susah cari kerja, cari jodoh…”

“Ya, semua diperbaiki sambil jalan, Bun. Soal rezeki dan jodoh kan sudah ada Yang Mengatur. Yang penting, aku harus berusaha mengikuti semua tuntunan-Nya. Betul, kan?” tanyaku.
Hmm… Beli kerudung dan baju panjang itu juga perlu uang. Kita harus nabung dulu buat beli sedikit-sedikit,” alasan Bunda.

“Ya, yang penting ada untuk sekolah dulu, deh. Kalau buat pergi-pergi, kan aku bisa pinjam baju Bunda,” jawabku bersemangat.
“Itu kan modelnya ibu-ibu. Nggak pantas buat kamu,” kata Bunda.
“Ya pantas, lah. Kan ibu-ibu juga perempuan. Sama kayak aku,” timpalku cuek.

Langkah Ketujuh: Pertolongan



Jumat itu, sepulang sekolah, Mariana menarik tanganku agar mengikutinya. Seorang siswi menyerahkan bungkusan besar, “Ini dari teman-teman. Semoga cukup, ya.” Isinya seragam panjang putih abu-abu 2 pasang dan seragam pramuka sepasang, lengkap beserta kerudungnya.

Tanpa menunda lagi, esok hari, Sabtu 13 Maret 1999, aku berangkat ke sekolah mengenakan seragam baru. Ini memang hari terakhir pelajaran, di tingkat terakhir, di caturwulan terakhir. 

Kok nanggung sekali? Tidak sekalian saja kalau sudah lulus, atau setidaknya Senin besok?” tanya seorang teman.  
Nanggung gimana? Kalau tertunda sehari, apa aku kuat nanggung dosanya?” tanyaku balik. 

Salah satu yang menguatkanku untuk langsung memakainya hari itu adalah karena sepulang sekolah nanti akan ada pemotretan untuk buku tahunan. Aku tak ingin dikenang dalam keadaan aurat terbuka.

Langkah Kedelapan dst: Selalu Memperbaiki Diri


Itulah titik balik perjalanan menuju syar'i yang kualami. Selanjutnya, aku terus memperbaikinya dengan menggunakan pakaian yang lebih terjaga, tidak tipis, tidak membentuk tubuh, tidak mudah tersingkap dan tidak menyerupai pakaian laki-laki.


Makna jilbab yang sebenarnya bisa kita periksa dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir. Di halaman 199, terdapat kata ‘al-jallabiyya(h/-tu)’ dan ‘al-jilbaab(un)’ yang berarti ‘baju kurung panjang, sejenis jubah.’ Sejak mengetahui ini, aku pun konsisten selalu berjubah jika keluar rumah.

Saat ini, gamis syar’i sangat mudah ditemukan. Tidak seperti dulu yang harus menjahit dulu agar tetap sesuai dengan ketentuan syariat. Koleksi busana muslim terbaru dan hijab terbaru bertebaran di mana-mana.

Jadi, Teman-Teman, jangan tunda lagi perjalananmu menuju penampilan yang lebih syar’i, ya. Yuk, mulai dari sekarang juga! Semoga Allah memaafkan segala kesalahan kita yang telah lampau dan menguatkan langkah kita untuk tetap konsisten di jalan-Nya. Amin.

Related Posts

84 komentar

  1. Mak Pal.... seru ceritamu... 😉

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah. terimakasih apresiasinya mak z :)

      Hapus
  2. Ternyata panggilannya bukan farida tapi palida tho mak. Yowis melu2 aku hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha.. dia memang punya panggilan sayang gitu untukku

      Hapus
  3. Wah ternyata ceritanya awal berkerudung menarik nih mba. Rata2 memang awal pakai kerudung ditolak sama keluarga ya. Aku mengalaminya saat awal pakai kerudung. Tantangannya berat banget, apalagi sekampus baru 7 mahasiswi yg pakai. Dari keluarga, kampus, orang2 di jalan. Tahun 1987 itu masih jarang orang pakai kerudung

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah kebayang deh tahun segitu masih alot bgt ya

      Hapus
  4. Salut untuk yang sudah konsisten berhijab sejak kecil. Apalagi zaman dulu memang rasanya gimana gitu untuk yang berhijab. Awal saya berhijab sudah memiliki 2 orang anak. Pengennya terus berproses. Ya namanya manusia memang sebaiknya terus belajar menjadi lebih baik. Semoga kita semua seperti itu ya, Mbak. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin... semoga akhir kita semua khusnul khotimah ya

      Hapus
  5. Zaman aku SMA dulu, teman-teman masih belum ada yang berhijab. Nah, reuni perak tahun lalu hampir semuanya sudah berhijab.
    Btw sekarang banyak gamis dengan potongan sederhana tapi tetap terlihat modis dan anggun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul sekali. kesadaran meningkat, fasilitas jg mudah didapat

      Hapus
  6. 93 aku baru nasuk SMA :) tapi memang saat itu masih sedikit di sekolah yg menggunakan jilbab. Kalau skr enak sdh banyak

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya betul bgt. alhamdulillah ya sekarang lebih mudah

      Hapus
  7. Seru banget mba ceritanya. Aku tergugah

    BalasHapus
  8. Sepertinya pandangan kalau berhijab akan sulit jodoh dan cari kerja itu tidak benar deh Mbak.... Buktinya jadi pramugari pun sekarang sudah ada yang boleh mengenakan hijab. Rekan-rekan saya yang berhijab pun menikah juga. Rejeki dan jodoh sudah ada yang atur.... :) tetap semangat Mbak Palida....

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul sekali. sejak awal itu bukan kekawatiranku sih

      Hapus
  9. Poin memperbaiki diri, ini harus selalu dilakukan dan godaannya juga tak kalah 'menggoda' seperti pas awal2 mau berhijab ya.

    BalasHapus
  10. MasyaAllah... Barakallah Mba.. Semoga kita bisa istiqomah 😍😍 terharu baca kisah hijrahnya Mba Farida

    BalasHapus
  11. Sekarang model baju gamis cakep-cakep dan banyak pilihan yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul sekali. tinggal tunjuk asal ada duitnya heheehe..

      Hapus
  12. Waaah Mbak, aku terharu sama perjalananmu menutup aurat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. masyaallah, semoga saja bermanfaat buat semua ya

      Hapus
  13. Masya Allah.. Makjleb banget kisahnya sampai akhirnya berjilbab.
    Allah memang maha baik, kalo kita ada kemauan, pasti akan ada aja jalannya.
    Semoga selalu istiqomah, Palida ��

    BalasHapus
  14. Masha Allah...perjalanan berhijab masing masing orang sangat berliku ya Mak. Semoga Istiqomah. Terharu baca ceritanyaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. betuls ekali. tiap orang pasti punya cerita berkesan hingga akhirnya berhijab :)

      Hapus
  15. Aku jadi inget dulu pas baru berjilbab 2 minggu terus lepas selama 1 minggu karena harus berkumpiul dengan keluarga besar yang non muslim. Semoga Allah melindungi kita ya mba :)

    BalasHapus
  16. Flashback yg sangat bermanfaat nih . Kita dpt bercermin darinya.. ternyata masing2 kita punya cerita unik ya.. semoga kita makin Istiqomah y mba..

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin... yes, perjalanan yg pasti berkesan bagi setiap yg mengalaminya :)

      Hapus
  17. MasyaAllah terharu pas bagian temen2 mbak kasih baju seragam buat mbak.. Menunjukkan support dan rasa sayang mereka.. Pasti nggak terlupakan ya mba.. Semoga kita bisa istiqomah berhijab ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin.. betul sekali. mereka adalah siswi2 yg bahkan aku ga pernah berinteraksi sebelumnya :)

      Hapus
  18. Pasti ada perjalanan panjang untuk journey to syar'i. Semoga menginspirasi semua muslimah untuk memakai jilbab ya, mbak.

    BalasHapus
  19. Selalu ada cerita untuk yang pertama ya, mba Farida.
    Semoga kita semua istiqamah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin.. ya, semua yg pertama itu memang berkesan :)

      Hapus
  20. koleksinya cakep cakep yaa mba...semoga selalu semangat!

    BalasHapus
  21. Baca kisah Mba Farid akayak baca cerpen islami, menyentuh dan bikin penasaran, alhamdulillah ya proses berkerudungnya lancar

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah. terimakasih atas apresiasinya ya

      Hapus
  22. Semoga tetap istiqomah. Kalau diaku, memperbaiki diri dulu, hatinya juga sambil penampilannya juga

    BalasHapus
  23. Saya belum lama berhijab, Mba. Tahun 2012 saya mulai berhijab jadi baru sekitar 6 tahunan. Semoga kita selalu Istiqomah yaa, Mba ��

    BalasHapus
  24. Wah baca ini jadi mengingatkanku dulu awal berjilbab karena apa?. Dulu aku berjilbab karena naksir ama kakak kelas ketua organisasi DKM Bun waktu SMK dulu wwkwkwk *alay banget ya alasanku dulu ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. eeaa.. ya ampun. sekarang pasti bukan itu kan alasannya :)

      Hapus
  25. Barakallahu fiik, mba...
    Semoga Allah menguatkan selalu.

    Ceritanya sangat inspiratif.
    Dan sukses meningatkan saya akan masa lalu, "Mengapa saya dulu berhijab?"

    Karena gak mau Allah bangunkan istana di neraka untuk Bapak.
    Karena dosa anak gadisnya tidak hanya ia yang menanggungnya, tapi juga kedua orangtua, terutama Bapak.

    Subhanallah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. masyaallah. semoga bapak diringankan bebannya karena memiliki anak salihah :)

      Hapus
  26. MasyaAllah salut aku mak.. semoga semakin istiqomah dalam memperbaiki diri yaa

    BalasHapus
  27. masuk smp tahun 1993 bareng sama saya dong Mbak tahunnya. Waktu itu di kelasku baru ada 1 teman yang berkerudung. Semua ada hikmahnya ya, Alhamdulillah ya dimudahkan

    BalasHapus
  28. Memperbaiki diri! noted ini.
    Karena jilbab sudah menjadi tanggung jawab kita, ada cerminan untuk kita berjilbab salah satunya adalah syiar kan yah mba?! semogaa kita termasuk orang-orang yang selalu istiqomah dalam memperbaiki diri yah mba, amiinn Yaa Robb

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin.. betul sekali. karena berjilbab bukan jaminan kita udah baik segalanya. makanya kudu terus berusaha

      Hapus
  29. Pakai hijab dan menjaganya memang perjuangan ya Mbak. Semoga kita selalu istiqomah

    BalasHapus
  30. Suka baca cerita2 kyk gini. Allah emang gak akan kasi hidayah kalau kita gak cari ya mbak. Alhamdulillah hidup di Indonesia yang org2 zaman skrng tu udah biasa aja liat org berhijab bahkan pakai cadar sekalipun ya mbak. Semoga istiqomah ya mbak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin.. alhamdulillah, memang sebuah kemudahan

      Hapus
  31. Semangat memperbaiki diri, bismillah.
    Terima kasih cerita hijrahnya mba Farida.

    BalasHapus
  32. semoga kita semua bisa istiqomah menggunakan pakaian syar'i sebagaimana yang Allah perintahkan ya mb..

    BalasHapus
  33. Pengalaman berjilbab ku juga panjang banget menghadapi perenungan nya Mbak apalagi harus melepaskan kegiatan ku selama ini yaitu menari

    BalasHapus
    Balasan
    1. masyaallah, berat sekali ya melepas yg kita cintai. semoga dibalas dgn surga-Nya :)

      Hapus
  34. Panjang juga proses memutuskan untuk berhijab ya. Aku baru tahun 2008 kayaknya mba menggunakan hijab. Hari ini memutuskan untuk pake, besoknya dah langsung berhijab dengan bekal seadanya karena memang belum punya sama sekali modal, seperti kerudung dan baju lengan panjang. Beli beberapa potong untuk satu dua hari ke depan aja ;) Hari-hari setelahnya dipikir besok aja hehehee... Semoga ke depannya makin baik menutup aurat dan menjadi syar'i. Mohon doanya ya mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. masyaallah, mantap deh langsung kenceng keinginannya berhijab :)

      Hapus
  35. Aku merasa telat banget menutupi aurat dan berhijab baru setelah menikah 18 tahun lalu. Itupun belum sepenuhnya syar'i. Sampe sekarang masih belum mampu menutup dengan benar. Alhamdulillah anakku yg palig besar sudah berjilbab dari SMP. Doakan istiqomah ya mbaak

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin.. insyaallah mbak ika bisa istiqomah :)

      Hapus
  36. Ternyata menuju berhijab melalui proses panjang berliku ya mbaa. Jaman aku sekolah SMP, satu sekolah yg berjilbab cuma 4 termasuk aku, sekarang kayaknya banyak yg muslim udah berjilbab meski di sekolah negeri ya. Moga aja istiqomah diberi kemudahan menjadi muslimah yg kaffah. Aamiin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin... beruntung sekali sdh berhijab sejak dini :)

      Hapus
  37. Cerita yang inspiratif. Abby suka lihat teman2 yg gunakan syar'i. Adem lihatnya. Apalagi yang memiliki desain sederhana namun terilhat sangat elegan

    BalasHapus
  38. Terharu bacanya mba butuh perjuangan yang berliku, keep Istiqomah ya mba

    BalasHapus
  39. Mbaaak, baca ini jd auto tobaaat ����������

    BalasHapus
    Balasan
    1. masyaallah. yuk lanjut dengan terus memperbaiki diri :)

      Hapus
  40. Semangat mba. semoga selalu istiqomah

    BalasHapus

Posting Komentar