Tentang Apa?
Saat kata "demo" pertama kali dicetuskan dalam film berdurasi 22 menit ini, saya langsung paham mengapa kedua orang tua Ilham demikian gelisah. Bukan semata kamar berantakan karena ditinggal dua hari, melainkan lebih karena alasan di balik kepergian Ilham.
Demo. Sebuah aktivitas yang biasanya disambut dengan antusias oleh kalangan muda dan meninggalkan kecemasan di dada-dada orang tua mereka. Apatah lagi, jika dikaitkan dengan peristiwa 1998 yang sangat mencekam.
Saat itu, saya duduk di bangku kelas 3 SMU. Mengingat saya akan berganti status menjadi mahasiswa dalam hitungan bulan, orang tua mewanti-wanti agar saya tidak ikut-ikutan demo, apa pun alasannya. Beliau mengisahkan banyaknya kerusuhan yang sudah bersliweran di sepanjang umur mereka. Bentrok antara warga dan aparat serta warga dengan warga yang berhias darah di sana-sini berlangsung tepat di hadapan mata.
Percayalah, tidak ada satu pun film sadis yang mampu mengalahkan sensasinya dibandingkan menyaksikan langsung. Apa lagi, ternyata kedua orang tua Ilham ini pernah kehilangan anak sebagai korban demo.
Wajar saja mereka begitu cemas memikirkan keadaan anaknya yang bisa dipastikan masih aktif melakukan hal ini dalam dua hari kepergiannya. Mana sang bapak melihat sendiri tayangan langsung di TV yang memperlihatkan anaknya diamankan aparat dalam kondisi terluka. Orang tua mana yang tidak mencelus hatinya.
Satu fakta yang sama bisa menitipkan kesan yang berbeda bagi orang yang berlainan. Orang tua Ilham seperti kedua orang tua saya yang saat menyaksikan kerusuhan demo sudah memiliki anak-anak yang masih kecil. Tanggung jawab untuk melindungi keluarga menciutkan nyali dan memilih menghindar dari hal semisal. Sedangkan Ilham dalam film ini yang masih berdarah muda, justru makin terbakar semangatnya untuk terus berdemo usai melihat teman-temannya babak-belur.
Salah satu pesan kuat yang saya tangkap dalam film ini adalah saran sang bapak pada Ilham agar memilih jalan lain dalam memperjuangkan ide, bukan menempuh cara yang bisa berujung pada kematian. Mirip nasihat yang didengungkan kedua orang tua saya setiap kali melihat putrinya ini semakin vokal membawa oleh-oleh gagasan untuk didiskusikan sepulang dari kampus. Ya, pada dasarnya, alasan orang tua Ilham dan orang tua saya sama, takut kehilangan.
Sisi Teknisnya
Meski sebenarnya status kedua orang tua Ilham sudah bisa saya tebak sejak mereka mengeluhkan kamar yang berantakan, hal ini tidak mengurangi keasyikan mengikuti dialog demi dialog di antara sejoli yang romantis ini.
Melirik nama penulis skenarionya, saya jadi maklum. Alim Sudio merupakan salah satu penulis skenario yang saya sukai karena biasa menghasilkan cerita dengan alur padat, mengalir, dan dialog penuh makna. Hal ini saya dapati dalam beberapa karyanya yang pernah saya tonton seperti Tampan Tailor (2013), Assalamualaikum Beijing (2014), Surga yang Tak Dirindukan (2015), Aku Ingin Ibu Pulang (2016), Surga yang Tak Dirindukan 2 (2017), Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), Chrisye (2017), Surga yang Tak Dirindukan 3 (2021), dan Losmen Bu Broto (2021).
Detail seperti foto Ilham waktu kecil yang terpajang di meja tadinya cukup membuat saya mengernyitkan dahi. Sependek ingatan saya, biasanya lelaki sangat malu melihat fotonya saat kecil. Lah, ini malah dipajang.
Kemungkinannya, kalau bukan pribadi Ilham ini harus sangat unik, atau sebenarnya ibunya yang menaruh di situ dan Ilham tidak hendak menghapus campur tangan Beliau dalam menghias kamarnya. What a family boy!
Satu hal yang cukup mengganjal bagi saya di sepanjang film adalah justru akting sang pemeran tokoh utama, Ilham (Anbo Onthoceno). Emosinya terasa sangat dibuat-buat karena gayanya saat berdialog dengan ayahnya yang kebanyakan menatap nanar ke atas seperti membaca puisi. Mungkinkah untuk meniru Widji Thukul, salah satu idolanya yang terpampang posternya di kamar, bersebelahan dengan Mahatma Gandhi?
Saya lebih suka saat adegan mengambil minuman di kulkas. Ilham sedikit menunduk ketika berinteraksi dengan ayahnya, seperti sedang berbicara dengan diri sendiri. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya suasana hati Ilham saat dialog berlangsung.
Padahal, peran kedua orang tuanya sudah dibawakan dengan sangat apik oleh Muhary Wahyu Nurba (Pak Wahyu) dan Hetty Reksoprodjo (Bu Indri) sejak awal film. Meski dalam adegan berdansa, ayah Ilham tampak kaku untuk seseorang yang terbiasa berdansa bertahun-tahun dengan pasangan yang sama.
Ya, memang ada kejutan yang disiapkan di akhir cerita yang sudah tertebak sejak awal. Namun, hal itu sama sekali tidak mengecewakan. Fakta yang baru terungkap di ujung film itu memang hanya bisa ditampilkan belakangan. Bukan sekadar untuk kaget-kagetan, melainkan lebih sebagai terapi kejut bagi penonton untuk ikut melaksanakan seperti yang akhirnya dilakukan Ilham dalam menyikapi kehilangan. Merelakan. Dimulai dari diri sendiri, kemudian mengajak yang lain.
Salut atas kerja keras sang sutradara, Ichwan Persada, yang sudah mengarahkan jalannya produksi hingga memberi hasil sebagus ini. Mengingat saat itu, film ini merupakan pengalaman pertama Beliau sebagai sutradara dan digarap bersamaan dengan film pendek yang lain, "Family Room".
Film ini bisa ditonton gratis lo, di MAXSTREAM. Bisa dinikmati oleh semua pengguna provider internet, bukan hanya yang pakai Telkomsel. Asyik, kan?
karyanya banyak juga ya dan banyak yang terkenal untuk judul ini kayaknya juga menarik deh
BalasHapuswah ternyata banyak ya karyanya, dan beberapa pernah aku dengar katanya bagus
BalasHapusKalau nonton film pendek gini bisa dari maxstream jg tho...Baru tahu, soalnya jarang nonton film pendek. Bolehlah dicoba kapan2 nonton nih...mengingatkan kembali zaman jd mahasiswa...
BalasHapussaya suka nonton film pendek begini, lebih cepat selesainya dan penasarannya ga berlama-lama hehehe, tapi saya belum pernah cobain di Maxtream ini, nanti bisa cobain niy
BalasHapusDemo tuh mengingatkan kembali masa kuliah dulu. Aku belum pernah coba pakai maxstream untuk nonton film, kapan-kapan aku coba nih mbak.
BalasHapusFilm pendek tapi begitu berkesan maknanya ya mbak. Aku tahun 1998 masih SD, dan dulu nggak ngerti apa itu demo. Coba ya nanti nonton filmnya juga di Maxstream.
BalasHapuskalo saya, di th 98 saya kelas berapa ya? lupa. tapi sepertinya demo mencekam sekali suasananya ya. tentu saja ortu tokoh utama sangat cemas. saya pun bila di posisi beliau tak akan membiarkan anak saya ikutan demo2 begitu. bahaya!
HapusKak film pendek durasi berapa lama ? Penasaran pingin nonton juga apalagi yg menulis skenario sdh banyak menelurka skenario film lain yg sudah aku tonton sebelumnya
BalasHapusDi paragraf pertama sudah disebutkan durasinya 22 menit.
HapusPenasaran juga deh pngn nntn juga, film pendek dari maxstream biasanya bagus". Ada banyak pelajaran di setiap ceritanya.
BalasHapusaku baru tau judul ini mba.. tapi ternyata setting yang diambil tetap soal demo 1998 yaa.. kalau sekarang bisa juga tuh sebetulnya ambil setting demo2 mahasiswa yang terbaru
BalasHapusEnggak. Settingnya tentang demo masa kini, kok. Ortunya Ilham enggak setuju karena kakak Ilham sudah meninggal saat demo 1998.
HapusFilm pendek ini memang sepertinya hanya menyampaikan satu pesan tersirat yaa.. Tapi kalau didalami, ada banyak detil yang justru bisa diamati sebagai penikmat film. Dari mulai suara, mimik hingga setting suasana yang mendalam agar berkesan bagi penonton.
BalasHapusWah baru tau bisa nonton film2 pendek di maxstream thank you rekomendadi filmnya ka mo cari film2 pendek lainnya ah
BalasHapussekarang banyak ya mulai muncul film2 pendek dan series di aplikasi aplikasi ya. banyak pilihan banget untuk menonton. penasaran dengan film ini apalagi penulis skenarionya sudah banyak menghasilkan film2 yang laris di layar lebar
BalasHapusJadi penasaran nih untuk menonton film Indonesia lagi. Apalagi kita yang mengalami kejadian tahun 98 ya mba, meskipun memang tidak langsung berada di ibukota, tapi suasana mencekamnya seperti apa kebayang banget. Demo benar2 bikin was2 orangtua, berbanding terbalik dengan jiwa muda usia anak2 kuliahan yang idealismenya tinggi sekali.
BalasHapus