
Beberapa hari lalu, akhirnya aku memutuskan untuk menonton film Jumbo, film animasi lokal yang belakangan ini mencuri perhatian publik. Aku menonton film ini saat sudah meraih lebih dari tujuh juta penonton.
Buat yang belum menonton dan bertanya-tanya film animasi Jumbo tayang sampai kapan, sepertinya tidak ditutup dalam waktu dekat ini. Mengingat saat itu masih 90% kursi terisi dan sekarang sedang menuju angka 8 juta—angka yang luar biasa untuk film anak-anak produksi dalam negeri.
Jujur, aku menonton bukan karena ekspektasi tinggi, melainkan penasaran. Di balik gegap gempita pujian dan capaian jumlah penonton, aku juga mendengar kabar ada yang kontra dengan isi film Jumbo, tanpa aku cukup tahu apa yang dikeluhkan. Aku sengaja enggak mencari tahu lebih jauh agar tidak terpengaruh. Mending, nonton dan nilai sendiri aja. Jadi deh, aku mengajak balitaku menonton sebagai studi kasus.
Pendapatku tentang Jumbo
Lalu, apa kesanku setelah kelar mengikuti kisah si Don? Secara umum, komentar yang tercetus di benakku adalah: sangat menghina akal! Ha ha ha. Maaf ya, bagi para penggemar Jumbo yang sudah menonton berkali-kali. Masalahnya, lubang logika di situ enggak cuma 1-2, tetapi banyak!
Jadi, asli aku gemas, sih. Masa iya? Ryan Adriandhy yang pemenang SUCI 1 itu kan, biasa menulis dengan rapi. Kok, film panjang pertamanya berantakan begini? Terlalu sibuk menggambar selama lima tahun sampai lupa logika?
Alasan Ryan Adriandhy Membiarkan Jumbo Kurang Logis
Syukurlah, aku ketemu wawancaranya sang sutradara ini di kanal YouTube Raditya Dika. Di sana, Ryan menjelaskan bahwa versi awal Jumbo sebenarnya telah memuat bagian-bagian yang menjelaskan berbagai alasan logis dari beberapa detail di film yang aku pertanyakan.
Namun, saat diuji coba kepada berbagai kelompok penonton, adegan-adegan itu justru menjadi titik di mana anak-anak mulai kehilangan fokus dan merasa bosan. Akhirnya, bagian-bagian penjelasan tersebut dipotong agar anak-anak bisa terus terhubung secara emosional hingga akhir film.
Bagiku, ini pasti bukan keputusan mudah. Di satu sisi, dia harus mengorbankan sedikit “akal sehat” demi mempertahankan keterhubungan emosional anak-anak—penonton utama film ini. Dan, di sisi lain, sang sutradara menunjukkan bahwa dia tidak semata-mata membuat film demi popularitas atau keuntungan, melainkan juga untuk meraih tujuan yang lebih mulia: menyediakan tontonan yang bermutu dan menghibur bagi anak-anak Indonesia.
Dari sini, aku jadi lebih memahami bahwa tidak semua film anak harus memenuhi standar nalar orang dewasa. Ada saatnya logika dikorbankan demi menyelamatkan imajinasi dan keterlibatan emosional anak-anak. Dan, jika itu dilakukan dengan kesadaran penuh serta niat baik untuk bersedia mendengarkan, maka kupikir, keputusan tersebut layak dihargai. Yang penting, secara teknis dan makna, hasilnya memang berkualitas.
Apresiasiku untuk Jumbo
Harus diakui, aku juga enggak bisa menutup mata terhadap berbagai keunggulannya. Dari segi visual animasi Jumbo, sudah jauh berkembang dan cukup memukau untuk ukuran industri lokal. Desain karakter yang lucu dan penuh warna, serta dialog-dialog ringan yang mudah dicerna anak-anak, menjadi kekuatan utama film ini. Selain itu, pesan moral tentang keberanian, persahabatan, dan keluarga disampaikan dengan cukup menyentuh.
Tidak ketinggalan, lagu tema utamanya yang langsung bikin air mata menetes sejak tarikan napas pertama. Gila, ya. Ryan itu sadis banget. Masa bikin anak kecil nyanyiin lagu ciptaan ortunya yang sudah meninggal? Di depan orang banyak lagi! Ya pasti berderai-derailah yang denger. Mana liriknya segitu dalamnya, kan?
Dan, yang utama: Jumbo berhasil membuat anak-anak betah duduk di bioskop hingga akhir. Eh, kalau anakku sampai berdiri maju, sih—hal yang tidak mudah dicapai oleh film anak sekalipun. Itu artinya, film ini punya koneksi yang kuat dengan penonton.
Jadi pembelajaran berharga nih, buat aku yang sedang menyusun skenario film anak juga. Bukan bagian mengesampingkan logikanya, ya, melainkan bagaimana membuat anak tetap terhubung hingga selesai. Tantangan besar yang harus ditaklukkan. Senyampang masih bisa dilakukan dengan menjaga rasionalitas, kenapa enggak?
Jumbo telah menjadi tonggak penting dalam sejarah film animasi Indonesia. Terus terang, aku pribadi masih sangat menantikan sekuelnya. Entah itu berupa lanjutan cerita, prekuel, spinoff, serial .... Semoga Jumbo berikutnya bisa digarap dengan lebih membumi dan logis, biar dapat melengkapi semua hal baik yang sudah ada di film pertama.
Terima kasih buat Ryan Adriandhy dan seluruh pihak yang terlibat atas kerja kerasnya. Ditunggu karya selanjutnya!
Menurut saya, film animasi memang tidak terlalu berlogika. Bahkan untuk animasi kelas dunia sekalipun. Makanya, ketika menonton animasi apapun, saya jarang banget berpikir dengan logika dewasa. Yang penting terhibur dan pesan moralnya dapat. Jadi, keputusan Ryan memotong beberapa scene memang tepat.
BalasHapusSetuju banget dengan pendapat Myra. Animasi tuh kenyang dengan efek rekaan yang terkadang bahkan sering berkejar-kejaran dengan logika. Tapi sejatinya film animasi tetap menghibur. Dari teman-temanku yang sudah nonton JUMBO, pendapat mereka fun aja. Masuk dalam skala 8 untuk animasi produksi anak bangsa. And we must proud of it.
HapusAku belum nonton mbak, belum ada temennya nih. Tapi melihat antusias penonton jadi tertarik dan penasaran juga untuk nonton.
BalasHapusNah menarik nih baca ulasannya dari sisi mbak Farida :) Aku tahu penulis Jumbo itu Ryan dari podcastnya Raditya Dika. Jadi mbak berarti nonton dullu baru luhat podcast Radit ya akhirnya nemu lubang logika itu.
Jadi makain penasaran aku mau nonton semoga masih kebagian
Aku itu mau nonton jumbo bareng anak-anak sejak tempo hari belum jadi-jadi juga, hiks, semoga belum turun layar. Kalau menurutku sih film anak atau film animasi itu sebuah hiburan yang memang tidak terlalu perlu pakai logika karena memang diciptakan untuk meningkatkan daya imajinasi anak-anak, hihihiii. Nggak nyangka sudah mau 8 juta penonton ya?
BalasHapusWah ternyata itu alasannya ada banyak lubang logika di sepanjang film. Menarik sih menurut saya dan hal yang wajar juga.
BalasHapusaku suka banget sama karakter Nurman, pesona cowo greenflag :D
BalasHapusSaya nonton Jumbo sebelum tayang di bioskop, Mbak. Waktu itu saya mewakili Fiorum penulis bacaan anak nonton bareng di Plaza Senayan bersama kementerian pendidikan dasar dan menengah.
BalasHapusMemang dari sudut penulis cerita anak, menurut saya film jumbo ini lepas logikanya. Ini karena konfliknya orang dewasa yaitu dari Pak Kades, akhirnya hadirlah tokoh Merry.
Kalau saya, mungkin saya akan fokus pada konflik Don. Misalnya buku dongengnya hilang, lalu dia berusaha mencarinya. Konflik anak, maka bisa diselesaikan oleh anak.
Namun lepas dari semua itu, Film Jumbo sangat memberikan hiburan dan membuka jalan baru lahirnya animasi-animasi lndonesia lainnya.
Keren ya film jumbo ini, syarat akan makna dan banyak ladang edukasi pada filmnya. Sangat berguna untuk mengedukasi anak-anak maupun orang dewasa. Semua suka filmnya dan masih hangat untuk ditonton di bioskop.
BalasHapusWah untung baca reviewnya Mbak Farida sebelum nonton Jumbo
BalasHapusSejak belum rilis saya udah penasaran, karena banyak channel YouTube yang ngebahas
Jadi pingin banget nonton, sayang belum sempet aja
Sepakat, Jumbo adalah film animasi Indonesia terbaik yang pernah aku tonton. Aku juga berharap ada sekuelnya
BalasHapusIstilah dari penulis film adalah lubang logika.
BalasHapusIni buatku menarik nih..
Karena aku sama kayak ka Lid, belum nonton.. jadi aku menikmati sekali review sahabat-sahabat blogger yang menuliskan antusiasme beserta kritikan tajamnya mengenai film animasi Jumbo ini.
Yang pasti, aku setuju untuk menjadikan pelajaran setiap tontonan yang kita nikmati.
Entah big message-nya, atau a puzzle piece-nya, semua bisa diambil hikmahnya.
Namanya nonton film ya nonton adegan yang bukan nyata (walaupun dibuat berdasarkan kisah nyata)
BalasHapusIntinya hiburan aja sih kalau menurut saya. Syukur syukur kala bisa ngambil pelajaran dari yg dilihat dalam flm nya
Namanya saja film, yang berarti sebuah karya yang tujuannya salah satu adalah hiburan, sehingga bisa saja ada hal-hal diluar nalar di sana demi menghibur penontonnya
BalasHapusAkhirnya ada film anjmasi yang pas jyga buat anak2 ya mba hubungan otangtua dengan anaknya juga dapat, semoga film Jumbo ini awal dari film animasi lainnya yang pas utk anak2
BalasHapus