Ini adalah kisah nyata dari Chris Gardner. Tahun 1987, dia mendirikan perusahaan pialang saham: Gardner Rich & Co. dan menjadi jutawan mandiri. Dia kemudian menulis memoar berjudul "The Pursuit of Happyness", yang dijadikan film tahun 2006.
Disutradarai oleh Gabriele Muccino dan dibintangi oleh Will Smith, The Pursuit of Happyness (2006) adalah film biografi yang menyentuh, menginspirasi, sekaligus menggambarkan pengorbanan luar biasa seorang ayah tunggal demi masa depan anaknya.
Film ini mengisahkan Chris Gardner, seorang salesman alat kesehatan yang hidupnya perlahan hancur. Produk yang dia jual tak laku, keuangan memburuk, istrinya pergi, dan dia harus mengasuh anaknya, Christopher, seorang diri. Di tengah semua itu, dia berjuang mengikuti program magang tak dibayar di perusahaan sekuritas Dean Witter—hanya dengan satu harapan: masa depan yang lebih baik untuk putranya.
Mengapa “Happyness” dan Bukan “Happiness”?
Satu hal mencolok dari judul film ini adalah penulisan kata “Happyness” yang secara tata bahasa seharusnya ditulis “Happiness.” Tapi ini bukan kesalahan. Justru, penulisan yang salah itu muncul dalam salah satu adegan awal film—di dinding tempat penitipan anak tempat putra Chris belajar.
Chris membaca kata itu dan sadar itu salah. Namun ia tak bisa memperbaikinya—sebuah simbol bahwa bahkan “kebahagiaan” pun tampak tak utuh dan salah bentuk bagi orang miskin seperti dirinya.
Kata “Happyness” menjadi metafora bagi hidup Chris Gardner: dia tahu apa yang benar, namun tak selalu diberi kekuatan untuk memperbaikinya.
Simbol ini mempertegas tema utama film: keadilan sosial, perjuangan hidup, dan pengorbanan dalam sunyi.
Adegan-Adegan Pengorbanan yang Membekas
🚪 Tidur di Toilet Umum
Salah satu adegan paling menyayat adalah ketika Chris dan anaknya tidak punya tempat tinggal. Mereka tidur di lantai toilet stasiun bawah tanah. Chris mengunci pintu dari dalam sambil menahan air mata, memeluk anaknya agar tetap merasa aman, walau dunia di luar begitu kejam.
💼 Datang Wawancara dengan Pakaian Lusuh
Chris datang ke wawancara di Dean Witter dengan pakaian kotor dan bercak cat di baju—karena malam sebelumnya dia dipenjara akibat utang parkir. Namun dia tetap datang, tetap tersenyum, dan berkata:
“If someone comes in and he doesn’t have a shirt on, and you hire him—he must have had on some really nice pants.”
Kejujuran dan keyakinan tetap dia pegang, meski harga dirinya nyaris habis.
Chris Gardner tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu yang berbeda untuk bisa masuk ke dunia keuangan. Ia tidak punya koneksi, tidak punya gelar tinggi, dan penampilannya jauh dari profesional. Namun ia punya satu hal: kecerdasan, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk menangkap peluang kecil.
Adegan Lain yang Enggak Kalah Kece
Rubik
Salah satu momen krusial terjadi saat Chris melihat seorang pria kaya (Jay Twistle, calon bos di Dean Witter) mencoba menghentikan taksi. Chris segera mendekat, berpura-pura mengenalnya dan ikut masuk ke dalam taksi yang sama.
“Kau suka main Rubik’s Cube?”
“Bisa diselesaikan nggak sih itu?”
Jay memberikan Rubik’s Cube kepada Chris dengan nada skeptis. Chris menerima tantangan itu, dan langsung mulai memutar sisi-sisinya sambil berbincang, mencoba tetap tenang.
Rubik’s Cube di sini bukan hanya permainan, tapi simbol kecerdasan, ketekunan, dan kemampuan memecahkan masalah—yang justru dibutuhkan di dunia saham.
Chris tidak menyombongkan teori, dia menunjukkan kemampuan. Dalam waktu singkat, dia berhasil menyelesaikan Rubik’s Cube, membuat Jay terdiam kagum.
Dalam diam, Chris telah menang. Bukan hanya karena dia menyelesaikan puzzle, tapi karena ia berhasil membuat dirinya diingat oleh orang penting.
Kamera menyorot ekspresi Jay yang berubah dari acuh ke takjub. Untuk pertama kalinya, seseorang dari “dunia atas” melihat nilai sejati dari pria yang hidup di jalanan. Adegan ini membuat Jay tertarik dan mulai membuka peluang magang
Tangisan Tanpa Kata
Saat akhirnya diterima sebagai karyawan tetap, Chris berjalan keluar dari kantor, memecah di antara keramaian, dan menangis terisak—bukan karena sedih, tetapi karena seluruh pengorbanan itu akhirnya terbayar. Dalam diam, dia telah memenangi perang hidupnya.
Kesimpulan
The Pursuit of Happyness adalah lebih dari sekadar film tentang kemiskinan atau perjuangan menjadi sukses. Ini adalah kidung pengorbanan—tentang ayah yang rela kehilangan segalanya demi satu hal: masa depan anaknya.
Penulisan “Happyness” yang tidak biasa justru memperkuat pesan: bahwa bahagia tidak selalu tampak sempurna. Namun, jika diperjuangkan dengan tulus, ia tetap bernilai.
Saat ini bisa dinikmati di Netflix, ya! Kamu sudah menonton? Apa kesanmu?
Posting Komentar
Posting Komentar