Sedang menulis novel politik membuatku rajin mencari referensi yang mampu menggambarkan dinamika kekuasaan secara lebih realistis. Dari proses eksplorasi ini, aku akhirnya menonton Chief of Staff, serial politik Korea yang tayang di Netflix. Walau termasuk drama lama, intensitas politik dan kecerdasan narasi membuatnya tetap relevan dengan kondisi hari ini.
Salah satu hal yang langsung menarik perhatian adalah fakta bahwa serial ini memiliki dua season. Bagi penonton yang menikmati perkembangan karakter jangka panjang, dua season berarti ruang yang lebih luas untuk melihat transformasi, strategi, dan konflik batin tokoh-tokohnya. Ditambah lagi, serial ini dibintangi Lee Jung-jae, aktor yang kini mendunia lewat Squid Game, sebuah nilai tambah yang membuatku semakin penasaran melihat performanya dalam karya sebelum dia meledak secara global.
Season 1: Politik yang Tajam dan Penuh Janji Naratif
Season pertama Chief of Staff terasa sangat kuat. Narasinya rapat, kelam, dan memperlihatkan betapa rumitnya tarik-menarik kepentingan di balik meja parlemen. Serial ini berani menampilkan dilema moral, manipulasi, lobi kepentingan, dan karakter yang bergerak di area abu-abu yang meyakinkan.
Namun, di balik kekuatan Season 1, ada dua elemen penting yang sayangnya tidak mendapat kelanjutan di Season 2.
Pertama, cliffhanger mengenai si anak magang. Episode terakhir Season 1 menunjukkan kemarahannya yang meledak seperti bara kecil yang siap membakar semua. Saat itu aku sempat berpikir, “Wah, ini bakal jadi plot revolusioner. Pasti seru kalau anak magang berani melawan mentornya sendiri.” Bayangan konflik generasi, moralitas, dan keberanian bersuara di dunia politik tampak menjanjikan.
Sayang, hal ini tidak berlanjut demikian di Season 2. Cliffhanger kuat yang sempat memancing spekulasi ternyata hilang seperti subplot yang terlupakan.
Kedua, ada subplot menarik mengenai tawaran dari orang BPK kepada sang protagonis. Ini adalah peluang emas naratif: bayangan seorang pemain politik yang pindah institusi, bermain dalam dunia audit dan pengawasan anggaran negara, sebuah arena baru yang bisa menambah lapisan intrik. Namun, ini pun tidak kembali disentuh di season berikutnya.
Sebagai penonton, tentu ada sedikit rasa kecewa karena dua janji naratif tersebut terasa seperti pintu yang sudah dibuka, tetapi tidak mengarah ke mana-mana.
Season 2: Lebih Mainstream, Tetapi Tetap Layak Ditonton
Masuk ke Season 2, ada perubahan tonal yang cukup besar. Tokoh utama mulai bergerak lebih sebagai “orang baik”, membuat ceritanya terasa sedikit lebih mainstream dibandingkan Season 1 yang kelam dan penuh intrik moral-ambigu.
Meski begitu, Season 2 tetap memiliki daya tarik tersendiri. Pergeseran karakter selalu menarik untuk diamati, terutama dalam konteks politik: apakah kebaikan itu lahir dari kesadaran, rasa bersalah, atau strategi yang lebih panjang? Ada ruang interpretasi yang membuat Season 2 tetap layak diikuti, meski tidak sebrutal dan setajam pendahulunya.
Namun, tetap saja, terasa ada lubang kosong akibat subplot yang sudah telanjur membangun ekspektasi di akhir Season 1, tetapi tidak dituntaskan tadi.
Masih Layak Ditonton? Sangat!
Walau beberapa elemen penting dibiarkan menggantung, Chief of Staff tetap menjadi salah satu drama politik paling solid yang tersedia di Netflix. Serial ini menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya berkutat pada figur yang berdiri di depan kamera, tetapi sering kali dikuasai oleh mereka yang berada satu langkah di belakang.
Bagi seorang penulis novel politik sepertiku, drama ini menawarkan banyak inspirasi: dinamika antarstaf, tekanan moral, permainan kompromi, hingga gesekan antara idealisme dan ambisi.
Dan, meskipun ada rasa kecewa pada beberapa janji cerita yang tidak ditepati, keseluruhan pengalaman menonton Chief of Staff tetap memuaskan. Dua season yang berbeda rasa, tetapi sama-sama memberikan potret kekuasaan yang manusiawi dan penuh tekanan.
Kamu sudah menonton? Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar, ya!



Posting Komentar
Posting Komentar