header permata pengalamanku

Ulasan Film Ketindihan (2025): Trauma, Mitos, dan Teror yang Gagal Terkunci

8 komentar

ketindihan

Genre: Horor, Thriller
Durasi: 96 menit
Sutradara: Dyan Sunu Prastowo
Penulis skenario: Widi Lestari Putri
Sinematografi: Akhmad Khomaini
Editor: Gita Miaji
Art Director: Adi Gimbal
Pemeran: Haico Van der Veken, Kevin Ardilova, Donny Damara, Wulan Guritno
Rilis: 9 Januari 2025
Status: Tontonan No. 1 di Netflix Indonesia minggu ini

Sinopsis

Ketindihan mengisahkan Tania (Haico Van der Veken), seorang atlet tenis muda yang hidupnya mulai dihantui oleh fenomena ketindihan setelah temannya, Nurul (Luana Dutra), bunuh diri. Tragedi ini terjadi tak lama setelah mereka melakukan ritual pemanggilan jin mitos dari Aceh bernama Beuno. Di tengah tekanan dari ayahnya yang ambisius, Beni (Donny Damara), dan hubungan toksik dengan pacarnya, Coki (Kevin Ardilova), Tania harus menghadapi teror mistis yang mengancam dirinya dan orang-orang terdekatnya.

Kenapa Menonton?

Aku tertarik karena sedang menduduki peringkat pertama di Netflix Indonesia minggu ini. Ini membuktikan bahwa masih banyak penonton yang penasaran dengan horor lokal. Juga, adanya Donny Damara, Kevin Ardilova, dan Zeezee Shahab di jajaran pemain yang sudah tidak aku ragukan kualitas aktingnya. 

Selain itu, latar belakang protagonis sebagai atlet tenis — sebuah profesi yang sangat jarang diangkat dalam film Indonesia. Dunia olahraga di sini bukan sekadar dekorasi, tapi berperan sebagai simbol tekanan, ekspektasi, dan disiplin yang perlahan menghancurkan Tania dari dalam. Ini menjadi pembeda yang segar di tengah dominasi film horor bertema anak sekolah, rumah angker, atau desa terkutuk.

Pengalaman Menonton

Di sini, kita diperkenalkan dengan sosok mitos dari Aceh bernama Beuno yang dipercaya suka mengganggu para gadis kesepian saat tidur. Mitos yang sudah akrab, ya, di beberapa tempat bahkan negara. Malah, fenomena ini ada istilahnya di dunia psikologi, yaitu sleep paralysis. Lalu, apa uniknya Beuno ini? Kenapa penceritaannya menggunakan dia, bukan pendekatan dari mitologi serupa dari daerah lain?

Kupikir, mungkin memang ada sisi uniknya Beuno ini dibandingkan yang lain. Walau sebenarnya, pas aku telusuri di mesin pencari pun aku enggak menemukan perbedaannya, sih. Nah, ternyata, film ini menjelaskan bahwa Beuno itu datang karena dipanggil. 

Okay, ini beda ya. Sebab, biasanya kan, orang ketindihan tuh, ya tiba-tiba aja kena. Perbedaan berikutnya bahwa ternyata Beuno ini enggak cuma mengganggu tidurnya Tania tetapi juga mulai membunuh satu per satu orang yang bikin Tania kesel. Nah, lo?

Fine. Aku anggap itu sebagai kreativitas sang pembuat film untuk meningkatkan keseruan dalam film. Sepanjang film, aku terus berusaha menerima logika cerita yang ditawarkan. Sayang, semakin lama, film ini tak mampu mempertahankan logika internal dunianya sendiri. 

Mulai dari kenapa Beuno mengganggu tidur Tania tetapi tidak membunuhnya, malah menjadi semacam pembantu Tania untuk mencelakai orang-orang di sekitarnya, ini tidak ada penjelasan. Lalu, yang tadi katanya suka mengganggu cewek kesepian, belakangan ternyata juga mengganggu pacar, adik lelaki, dan ayah Tania. Terus, dari mana Tania tahu persis bahwa Beuno mengganggu di pukul 03.15? Terlalu spesifik, jika Tania sebelumnya tak punya kebiasaan mengecek jam setiap kali teror terjadi.

Titik Kritis Film Ketindihan

Inilah satu kenyataan pahit yang sering kali terjadi di film horor Indonesia: logika ceritanya lemah. Itu yang bikin aku masih ragu memutuskan menonton film genre ini yang sering dibangun tidak di atas pondasi cerita yang kuat.

Selain itu, karakter Beuno tidak dijelaskan secara memadai — tidak ada aturan, motif, atau akar mitologi yang membuatnya unik. Bahkan, mantra untuk memanggilnya pun cukup dengan sebaris kalimat sederhana dalam bahasa Indonesia. Fiuh! Padahal, inilah kesempatan emas untuk memperkenalkan mitos lokal secara utuh dan membangun world-building yang kuat.

Penggeseran mitos Beuno menjadi sosok peneror terasa dipaksakan agar film ini menghadirkan kengerian. Gara-garanya ya karena pijakan logika dan mitologinya tidak kokoh. 

Kelebihan yang Nyata: Visual, Akting, dan Atmosfer

Sebenarnya Ketindihan punya banyak hal yang layak diapresiasi:

  • Sinematografi yang impresif, dari lapangan tenis yang luas hingga sudut sempit dan permainan pencahayaan yang menciptakan rasa terkunci dan mencekam. 
  • Properti dan detail visual seperti mobil listrik mewah dan ruang kamar berkeringat yang membuat tensi domestik terasa nyata.
  • Gaya editing yang segar, misalnya saat menampilkan hasil pencarian di internet dan mobil yang melaju secara timelapse.
  • Akting para pemain sangat kuat. Haico berhasil menyampaikan beban batin tokohnya, Kevin Ardilova membawakan karakter Coki dengan keseimbangan antara toksik dan kerapuhan, serta pastinya Donny Damara sangat pas sebagai ayah yang mencekik tanpa perlu berteriak.

Kenapa Harus Horor Mistis?

Aku membayangkan, sepertinya akan lebih menarik jika film ini digarap dalam genre horor psikologi seperti film Smile (2022), sebuah film horor psikologis yang mengangkat trauma dan tekanan emosional sebagai sumber ketakutan. Ketindihan sebenarnya punya bahan mentah yang mirip. Bahkan lebih unik, karena membawa unsur budaya lokal dan latar karakter seorang atlet.

Teror psikologis bisa ditularkan misalnya melalui stres dan kelelahan yang berlebihan. Akibat orang sekitar sibuk membantu Tania, kondisi fisik dan mental mereka jadi menurun dan mudah ketindihan. Teror tak terlihat yang justru lebih mengerikan daripada makhluk gaib. 

Tak harus menunjukkan wujud sang hantu secara visual. Bahkan, saat Smile 2 (2024) menghadirkan penampakan jin pengganggunya, jadi terasa murahan. Kenapa tidak dibiarkan saja tetap menjadi misteri yang mencemaskan penonton tentang keberadaannya? 

Sayang, film ini memilih jalur horor mistis generik. Apakah karena genre horor sedang populer? Kalau itu alasannya, alasan tersebut kini sudah terpatahkan: film Jumbo, yang bukan horor, justru menjadi film terlaris tahun ini. Bahkan, Ketindihan sendiri tidak mencatat jumlah penonton bioskop yang signifikan, cuma 43.293. Jadi, mengapa harus memaksakan diri ke arah yang tidak sepenuhnya bisa dipahami?

Genre Dipilih Bukan Karena Sensasi, Melainkan Esensi

Aku menulis ulasan film ini karena melihat ada bakat, potensi, dan niat baik di dalamnya. Sudah waktunya para pembuat film berhenti mengejar arus popularitas semata, dan mulai percaya pada kekuatan cerita, konsistensi logika, serta keberanian mengolah tema dengan cermat.

Genre dipilih bukan karena sedang laris, melainkan karena dialah cara bercerita paling efektif untuk menyampaikan isu yang mau diangkat. Film horor tidak akan kuat hanya karena punya sosok hantu, tetapi akan selalu diingat ketika punya jiwa.

Nilai akhir untuk film ini dariku adalah 6/10, layak ditonton untuk visual dan aktingnya. Namun, jika kamu mencari horor yang menggugah dan menggigit — film ini belum sampai ke sana. Bagaimana? Kamu sudah menonton film Ketindihan belum? Apa pendapatmu?

Related Posts

8 komentar

  1. Saya juga sudah nonton film ini. Sorry to say, filmnya enggak banget deh. Lemah dan dangkal dalam banyak aspek. Keberadaan aktor senior sekelas Doni Damara pun ternyata tidak bisa mengangkat kualitas film ini. Sebagai penggemar (baca: penggila) produk sinema di genre horror, thriller, dan sejenisnya, ketegangan KETINDIHAN ini tuh nanggung banget. Tidak ada gregetnya. Tapi tetap saya tuntaskan karena kalau enggak ntar jadi (mati) penasaran hahahaha.

    BalasHapus
  2. Saya udah pasti gak bakal menonton. Karena memang gak suka film horror. Apalagi setelah membaca ulasannya. Tapi, ya, faktanya masih banyak yang suka film horror. Ya gak apa-apa kalau memang bagus. Sayangnya film lokal dengan jalan cerita yang aneh pun tetap banyak peminatnya

    BalasHapus
  3. Genre film horror adalah salah satu film yang saya hindari untuk tonton, mba. Saya penakut dan mudah terbayang-bayang kalau nonton horror.
    Tapi berharap produksi film di Indonesia lebih baik lagi kualitasnya termasuk genre horror ini.

    BalasHapus
  4. setuju dengan Mbak Farida, logikanya lemah
    Kayanya pengambilan judul hanya untuk menarik penonton ya?
    Semacam clickbait di dunia penulisan

    BalasHapus
  5. Saya belum nonton tapi rasanya paham kenapa mbak Farida menyayangkan mengambil sisi mistisnya. Kalau saja pendekatannya thriller psikologis mungkin malah lebih kerasa "seram"nya ya.
    Semoga sineas kita kedepannya mulai menyadari ga semua ide cerita kreatifnya harus dibuat versi horror

    BalasHapus
  6. Film horor terakhir aku lihat waktu SD, dan sejak saat itu sudah berjanji sama diri sendiri nggak mau nonton lagi genre horor, karena nggak bisa enjoy. Tapi kalau yg sifatnya horor psikologis msh mau sih, karena bisa dpt banyak disitu.

    BalasHapus
  7. Seumur2 saya baru sekali ngerasain ketindihan (entah itu keitndihan atau apa ngga tau pasti juga, dan smoga ngga pernah lagi)
    Rasanya mau ngomong aja ngga bisa, mangap aja susah. Udah mangap ngga bisa mingkem... boro2 mau bangkit
    duh inget banget rasanya (jangan lagi ya Allah...)
    Udahlah saya emang penakut dan jarang2 nonton horor

    BalasHapus
  8. Aku idah nonton tapi trailernya di aplikasi TikTok kak. Dan baru tahu juga kalau zeezee shahab ternyata main film horor

    BalasHapus

Posting Komentar