Ketika nama Frankenstein disebut, kebanyakan orang langsung teringat pada monster berwajah jahitan dan menakutkan. Namun di tangan Guillermo del Toro, kisah klasik ini berubah menjadi sebuah meditasi visual tentang kasih sayang, kesepian, dan kemanusiaan.
Dirilis secara global di Netflix pada 7 November 2025, setelah pemutaran terbatas di bioskop pada 17 Oktober 2025. Frankenstein bukan hanya horor tentang ciptaan dan pencipta, melainkan perjalanan batin tentang apa artinya menjadi manusia, dan bagaimana pengetahuan serta cinta bisa membentuk jati diri.
Sebagian orang protes karena banyak bagian yang tidak sama dengan novelnya. Namun, sejak dulu, yang namanya karya adaptasi itu tidak pernah berutang kepada karya sebelumnya. Perbedaan media dan pembahasaan ulang memungkinkan perbedaan sudut pandang yang ingin ditonjolkan sang adaptor.
Guillermo del Toro: Menyulam Kengerian dengan Keindahan
Guillermo del Toro memang dikenal sebagai sutradara yang mampu menghadirkan monstrous beauty (keindahan dalam kegelapan). Seperti Pan’s Labyrinth dan The Shape of Water, Frankenstein (2025) juga mempertemukan dunia imajinatif dengan realitas yang getir.
Del Toro tidak menampilkan monster sebagai ancaman, melainkan sebagai cermin jiwa manusia. Penuh luka, haus kasih, dan berjuang untuk diterima.
Dengan gaya khasnya, del Toro menggabungkan set gotik penuh detail, warna-warna dingin yang simbolis, dan pencahayaan remang yang menghadirkan suasana melankolis.
Setiap frame terasa seperti lukisan, indah sekaligus mengerikan.
Sinematografi dan Unsur Teknis yang Menyentuh Emosi
Sinematografer Dan Laustsen, kolaborator setia del Toro, kembali menunjukkan keahliannya dalam menciptakan visual yang kaya nuansa. Pencahayaan menggunakan dominasi biru dan hijau lembut untuk menggambarkan kesepian sang makhluk.
Gerakan kamera lambat memberi ruang bagi penonton untuk menyelami ekspresi dan gestur, lebih seperti menyaksikan puisi visual ketimbang sekadar film horor. Efek praktikal dan CGI berpadu mulus; tubuh sang makhluk tampak realistis, tapi tidak kehilangan sentuhan manusiawi yang lembut.
Musik karya Alexandre Desplat memperkuat emosi film dengan harmoni minor yang seakan mengalun di antara harapan dan kesedihan. Tidak ada teror berlebihan. Hanya rasa kehilangan yang perlahan menekan hati penonton.
Teknis Produksi: Horor yang Puitis
Dari sisi teknis, Frankenstein (2025) adalah karya yang menakjubkan.
Desain produksi menampilkan laboratorium megah dengan detail logam, kaca, dan alat-alat ilmiah yang menandai persimpangan antara sains dan spiritualitas. Tata cahaya dan warna menggabungkan estetika film klasik dengan nuansa modern — menghadirkan dunia yang terasa nyata sekaligus mistis.
Kostum dan riasan menonjolkan tema kontras antara ciptaan dan pencipta, antara kesempurnaan ilmiah dan kekacauan emosi manusia.
Film ini bukan tentang ketakutan yang spontan, melainkan ketegangan yang meresap pelan. Jenis horor yang membuat penonton diam dan berpikir lama..
Buku: Jalan Sunyi Menuju Kemanusiaan
Del Toro menekankan bahwa selain kasih sayang sebagai jalan menuju kemanusiaan, ada buku sebagai simbol dari pencarian makna. Dalam kesepian, makhluk ciptaan Frankenstein menemukan tumpukan buku yang membawanya mengenal dunia manusia. Dari situ, ia belajar tentang cinta, kehilangan, dan keadilan, meski tak pernah merasakannya.
Film ini dengan indah menampilkan bahwa kasih sayang membuat manusia mau belajar dan berwawasan, sedangkan pengetahuan dapat menumbuhkan empati. Sang makhluk tidak menjadi manusia karena tubuhnya, melainkan karena pikirannya yang terbentuk dari bacaan dan rasa ingin tahunya.
Apakah Indonesia Siap Menikmati Horor Seperti Ini?
Pertanyaan menarik muncul: apakah penonton Indonesia siap menikmati horor yang berpikir seperti Frankenstein (2025)?
Selama ini, film horor di Indonesia identik dengan mistik, kejutan cepat, dan kengerian lokal. Walau dalam beberapa tahun terakhir, film seperti Pengabdi Setan 2 dan Siksa Kubur menunjukkan bahwa penonton kita mulai menghargai makna di balik ketakutan.
Del Toro menghadirkan horor yang lebih tenang, filosofis, dan penuh simbol. Sesuatu yang mungkin tidak mudah dicerna semua penonton, tetapi sangat relevan bagi mereka yang mencari pengalaman sinematik yang memanusiakan. Frankenstein (2025) bisa menjadi gerbang bagi film-film horor yang lebih berjiwa dan reflektif.
Penutup: Antara Kasih Sayang, Pengetahuan, dan Kemanusiaan
Frankenstein (2025) tidak hanya karya sinema, tapi juga renungan tentang hakikat hidup.
Del Toro berhasil mengubah kisah klasik ini menjadi refleksi tentang manusia yang kehilangan arah karena haus akan kekuasaan, dan makhluk yang justru menemukan makna karena haus akan kasih sayang dan pengetahuan.
Buku menjadi simbol bahwa meski kasih sayang tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan, ia bisa muncul dalam rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami. Sebab, pada akhirnya, dengan kasih sayang, manusia bersedia belajar, membaca, dan menjadi berwawasan.
Mungkin itu pesan terbesar del Toro, bahwa yang benar-benar “hidup” bukanlah tubuh yang diciptakan, melainkan jiwa yang tumbuh karena cinta dan pengetahuan.
Kamu sudah nonton belum? Apa pendapatmu?



Posting Komentar
Posting Komentar