header permata pengalamanku

Angkringan untuk Genre Buku Baru, Kenapa Enggak?

18 komentar

angkringan

Kalau kamu pernah ke Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, kemungkinan besar pernah melihat orang berjualan menggunakan benda seperti foto di atas. Dalam bahasa Jawa, alat dan tempat jualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas ini disebut angkring ꦲꦁꦏꦿꦁ.

Apa Itu Angkringan?

Menurut Wikipedia, angkringan merupakan sebuah gerobak dorong untuk menjual berbagai macam makanan dan minuman di pinggir jalan. Di Solo maupun Klaten angkringan dikenal sebagai warung HIK (Hidangan Istimewa Kampung, kadang juga disebut Hidangan Istimewa Klaten) atau wedangan.

Gerobak angkringan biasa ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar delapan orang pembeli. Angkringan ini biasa beroperasi mulai sore hingga dini hari. Dulu, ia mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir. Penerangan yang sangat sederhana ini mirip lampu teplok, tetapi tanpa kaca semprong. Terdiri dari botol biasanya berukuran pendek lengkap dengan sumbu dan minyak tanah sebagai bahan bakar. 

Makanan yang dijual meliputi nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telur puyuh, keripik, dan lain-lain. Minuman yang dijual pun beraneka macam seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe, susu, hingga minuman bubuk dalam kemasan. 

Biasanya, semua dijual dengan harga yang cukup terjangkau. Bahkan, meskipun angkringan itu seperti yang kebanyakan berdiri saat ini, yaitu sudah menggunakan lampu pijar atau lampu LED serta menggabungkan konsep angkringan yang tradisional dengan desain modern layaknya kafe.

Kapan Mengenal Angkringan?

Sebagai insan kelahiran Tanah Jawa, wajar aja kalau aku sudah mengenal angkringan sejak kecil. Biasanya, aku ikut Ayah menongkrong di sana malam-malam saat enggak bisa tidur, meskipun jarang ikut makan dan minum. 

Sebab, aku memang susah makan sih, waktu kecil. Paling-paling, cuma menikmati sepotong gorengan dan sedikit minuman yang enggak sampai segelas habis. Sambil mendengarkan celotehan bapak-bapak hingga mengantuk dan diantar pulang.

Setelah gede, aku makin jarang makan di angkringan. Walaupun menunya memang sangat menggiurkan, aku lebih suka membungkus dan memakannya di rumah. Salah satu angkringan yang akrab dengan teman-teman SMU adalah yang di Jalan Pandan, Surabaya. Sebab, lokasinya dekat dengan sekolah. 

Sayang, saat aku cek di Google Map, sepertinya angkringan tersebut sudah enggak ada lagi. Padahal, angkringan ini termasuk salah satu yang pilihan menunya sangat banyak dan rata-rata enak. Porsinya pun banyak, sehingga bisa buat makan bareng.

Kenal Genre Buku Healing Fiction?

Pandemi menjadi pemicu meningkatnya minat pembaca terhadap genre buku ini. Buku dengan genre healing fiction lebih populer disebut iyashi-kei ini menjadi sebuah buku yang menghangatkan hati, seperti obat untuk kelelahan dari kehidupan sehari-hari.

Genre buku ini cocok banget dengan kondisi masyarakat belakangan yang enggak memiliki energi untuk mengharapkan kesenangan dramatis dalam novel atau mengejar nilai-nilai artistik. Pembaca jadi mendambakan cerita lambat dan emosi tenang yang hanya memberi tahu mereka bahwa mereka baik-baik aja dengan kondisi sekarang, dan semua orang mengalami hal yang hampir sama.

Fiksi penyembuhan alias unharmful novel ini bebas dari plot yang sulit atau rumit. Novel ini biasanya tentang empati, penyembuhan, kenyamanan, keberanian, dan solidaritas. Karakter akan berkumpul di suatu tempat dan menceritakan kisah mereka. 

Kita enggak harus berkonsentrasi pada karakter tertentu. Jadi, boleh aja mulai membaca dari bagian mana pun. Mirip dengan novel omnibus, ya. Cuma, dalam novel penyembuhan ini ada satu aktivitas yang mengikat para tokohnya, yaitu bertemu di suatu tempat.

Ini sebuah genre buku yang menarik ya, buatku. Sebab, genre ini juga merupakan turunan dari genre favoritku, yaitu slice of life. Kalau kamu pernah membaca novel-novelku, isi ceritanya ya enggak yang dramatis banget, kok. Kejadian sehari-hari aja.

Nah, aku tertarik nih, pengin menulis novel dengan genre baru ini. Sebagai kearifan lokal, sepertinya angkringan merupakan salah satu lokasi yang pas untuk dipilih sebagai latar, ya. Toh, angkringan  terkenal sebagai tempat yang egaliter karena bervariasinya pembeli yang datang.

Kalau kamu penulis buku, boleh juga mengadopsi ideku ini, ya. Jangan lupa melakukan penyuntingan mandiri saat naskahnya kelar nanti. Jangan merepotkan orang lain seperti yang terjadi belakangan ini di salah satu grup penulis yang kuikuti. Setiap hari menyetorkan tulisan untuk dicarikan kesalahannya oleh para anggota grup.

Enggak salah sih, cara belajar semacam ini. Hanya, yang bikin kami jadi gemas adalah kesalahan yang dilakukan kebanyakan ya itu-itu aja. Seperti enggak mau belajar, begitu. Sekadar menulis sampah dan membuangnya ke kita untuk dibersihkan. Oops! Jadi curcol, nih. Mending membayar jasa editor freelance deh, biar sama-sama enak. Ya, kan?

Oh, ya. Bisa jadi, sebenarnya kamu sudah pernah membaca genre buku novel penyembuhan ini sebelumnya. Bahkan, jauh sebelum pandemi berlangsung. Masih ingatkah kamu, novel apa itu? Adakah yang berlatar angkringan?

Related Posts

18 komentar

  1. Sewaktu membaca laskar Pelanginya Andrea Hirata, bagi saya itu sangat healing writing sekali, which is sebagai pengajar jadi tersadarkan dan menambah semangat untuk mendidik dan mengajar setulus hati

    BalasHapus
  2. Oh ada juga jenis unharmful novel ya, saya baru tahu. Semacam teenlit atau novel psikologis gitu ya. Btw saya baru tahu kakak penulis buku, keren euy. Menulis novel dengan kearifan lokal sulit gak sih? Terutama belatar belakang angkringan? Menarik sepertinya. Saya tahunya angkringan buat makan yang sederhana, bersahaja dan murah. Mungkin filosofis itu kali ya yang bisa diangkat ke novel.

    BalasHapus
  3. Saya malah sebelumnya tidak tahu apa angkringan itu, Mbak. Karena saya tinggal di Makassar. Nah, saat merantau ke Jakarta, dekat rumah saya ada gerobak angkringan. Dari situlah saya tahu nasi kucing, dengan segala lauknya, termasuk favorit saya sate telur puyuh hahaha.
    Terus lanjut, saat saya tinggal di kebumen, lalu ngebolang ke Yogya, Solo, Cilacap, Purwokerto dan lainnya. Pasti ketemu angkringan. bahkan jadi tempat favorit makan, biar hemat dana selama ngebolang hahaha.

    BalasHapus
  4. Heheh setuju sih, aku juga dulu pas nulis buku sebisa mungkin kuedit dulu sampeee bener2 yang menurutku itu udah "layak" terbit. kwkwkw malahan dulu yg layouternya yg agak gesrek sih alhasil cetakannya agak mengecewakan

    BalasHapus
  5. Aku teringat sama salah satu penerbit nih yang memang sedang mengadakan lomba dengan genre iyashi-kei ini. Sayangnya bagi yang sudah punya karya baik antologi atau buku solo, nggak boleh ikutan, Mba. Padahal aku sedikit tergoda.

    BalasHapus
  6. Eh, aku jadi keinget series Angkringan yg tayang di Mola TV sm dorama Jepang, Izakaya Bottakuri mbak. Dua-duanya slice of life dan setting di angkringan/kedai gitu. Emang tempat semacam angkringan itu tanpa sadar bisa jadi lokasi penyembuhan lewat cerita sambil makan, novel genre gini pasti seru juga

    (Arai)

    BalasHapus
  7. Ngomongin angkringan, kalau udah nongkrong eh, lebih tepatnya menikmati makanan di angkringan, sepertinya ga mau berhenti makan. Pilihan menunya banyak, tempatnya nyaman, dan suasananya khas banget.

    Cocok banget sih kalau mau dijadikan Latar dalam novel, Kak. Siap menunggu untuk membaca karyanya.

    BalasHapus
  8. Bayar editor freelance padahal ga mahal ya mba. Daripada ngeribetin orang lain. Hehe. Yang penting sih naskahnya enak dibaca aja. Hehe

    BalasHapus
  9. healing fiction tuh lebih ringan dan santai ya mba, jadi ga terlarut-larut juga sama emosi cerita, yang malah kadang bikin emosi jugaa hahhaa

    BalasHapus
  10. Bener kak, sebisa mungkin rapikan dulu tulisannya, dari EYD, spasi, dan juga font nya, bantu editor kan berpahala juga, hehe

    BalasHapus
  11. Angkringan cenderung orang kawa bismillah semeluae

    BalasHapus
  12. Acaranya seruu banget ndagingg materinya, bah kalau brkt pasti

    BalasHapus
  13. Wah aku dulu baca buku Pulih
    Baca healing fiction pasti asik, seru dan ringan pastinya

    BalasHapus
  14. Angkringan itu mengingatkan aku akan Jogja. Apalagi dulu waktu tinggal di Yogya, hampir tiap malam aku nongkrong di angkringan. Bagus juga nih idenya dimasukkan jadi buku ya

    BalasHapus
  15. Angkringan mengingatkanku pas masih kuliah, di depan gerbang kampus kalau pulang latihan padus jam 9 biasanya ada angkringan dan menunya enak-enak. Ah aku baru tahu ada genre healing fiction. Ide mbaknya juga kece kalau nulis buku pakai kearifan lokal kayak angkringan

    BalasHapus
  16. Angkringan khasnya solo yogya, dengan menu nasi kucing istilah atau sebutan dari nasi bandeng seuprit ma sambel. Meski seuprit tapi uenakk mana murah meriah. Naah mbaa tau ga di tokyo ada lho angkringan yg buka orang yogya....

    Senoga angkringan mendunia tongkrongan wong jowo.

    BalasHapus
  17. Bali juga banyak ada angkringan pinggir jalan, biasanya ada yg ngamen atau live accousticnya juga sekarang.

    Btw saya suka banget dengan genre buku healing fiction ini karena bisa sebagai media healing juga apalagi yg punya aktivitas yang padat

    BalasHapus
  18. Fiksi Penyembuhan. Bagus niiiih. Semoga makin banyak yang menulis begini. Kalau kuperhatikan sekarang, seringnya orang nulis atas nama menjaga kewarasan tapi malah bikin orang lain jadi kehilangan kewarasan. Kan sedih.

    BalasHapus

Posting Komentar