Pernah merasa setelah berjam-jam scroll TikTok atau menonton YouTube Shorts, otak rasanya kosong? Bukan cuma kamu. Fenomena ini disebut brain rot—istilah populer di kalangan Gen Z dan milenial yang menggambarkan perasaan tumpul, jenuh, bahkan kehilangan fokus akibat terlalu banyak mengonsumsi konten cepat dan dangkal.
Apa Itu Brain Rot?
Secara harfiah, brain rot berarti “pembusukan otak.” Namun, tentu saja bukan istilah medis. Ini lebih ke istilah budaya digital yang menggambarkan bagaimana kebiasaan mengonsumsi konten visual pendek, cepat, dan seringkali tidak bermakna (seperti meme absurd, video reaction, drama instan, dan lain-lain) bisa membuat otak terasa “mati rasa.”
Bayangkan saja: kita menyerap ratusan potongan informasi setiap hari dalam bentuk video 10–60 detik. Otak kita tidak diberi waktu untuk mencerna satu informasi sebelum datang informasi lain. Akibatnya? Kita kehilangan kemampuan untuk fokus, berpikir mendalam, dan kadang … berpikir sama sekali.
Pengalaman Pribadi: Komentar Putri Sulungku
Beberapa waktu lalu, aku duduk santai bersama anak-anakku di ruang keluarga. Si balita sedang menonton video anak-anak di ponsel. Sementara itu, putri sulungku—yang baru saja diterima kuliah di jurusan psikologi—ikut menimbrung sebentar dan mengamati dengan seksama tontonan adiknya.
Dia lalu berkata dengan nada geli dan prihatin, “Mi, ini brain rot versi balita, loh. Gambar gerak cepat, musik keras, dan karakternya hiperaktif banget. Otaknya bisa kecanduan pola kayak gini terus.”
Aku tercengang. Tidak hanya karena istilah yang dia pakai terdengar “kerennya Gen Z banget,” tetapi juga karena dia menyadarkan sesuatu yang sering aku remehkan. Terkadang, kita membiarkan anak kecil menonton konten yang tampak aman karena warnanya cerah dan karakternya lucu. Padahal, bisa menjadi stimulasi berlebihan bagi kognitif.
Komen santainya membuatku berpikir: kalau orang dewasa saja bisa terkena brain rot, bagaimana anak-anak yang otaknya masih berkembang?
Mengapa Ini Terjadi?
Overstimulasi
Platform seperti TikTok dan Reels dirancang untuk memberikan dopamine hit instan. Video singkat, penuh kejutan, dan terus mengalir membuat otak terbiasa dengan stimulus tinggi. Begitu kita berhenti, hidup terasa ... membosankan.
Konten yang dangkal
Sebagian besar konten hanya bersifat hiburan sesaat—tidak memberi nilai tambah jangka panjang. Kita tertawa, lalu lupa. Padahal, otak sudah kelelahan memproses semuanya.
Pengaruh algoritma
Algoritma media sosial memberi kita konten yang “kita suka,” bukan yang “kita butuh.” Akibatnya, kita terus berada di lingkaran setan konten cepat, lucu, dan adiktif—tanpa ruang untuk berpikir kritis atau reflektif.
Dampaknya: Lebih Serius dari Sekadar 'Mager'
- Menurunnya konsentrasi
- Kecanduan scroll
- Kreativitas tumpul
- Kegelisahan dan kelelahan mental
Lalu, Apa Solusinya?
1. Digital Detoks
Mulailah dengan mengurangi waktu screen time, terutama di media sosial. Bisa dimulai dari 1 jam bebas HP setiap hari.
2. Konsumsi Konten Berkualitas
Ganti scroll TikTok dengan baca artikel panjang seperti yang biasa ada dalam blog, menonton dokumenter, atau mendengarkan siniar edukatif.
3. Latih Fokus
Bisa dengan meditasi, baca buku tanpa gangguan, atau sekadar menikmati suasana tanpa harus mengambil HP.
4. Aktivitas Luring
Jalan kaki, mengobrol langsung, menulis jurnal, atau menggambar bisa membantu otak ‘bernapas’.
5. Kurangi Multitasking
Berhenti berpindah-pindah tugas. Fokus satu per satu. Otak kita bukan browser dengan 40 tab.
Penutup
Brain rot bukan sekadar istilah gaul. Ia adalah cerminan dari dunia yang semakin cepat, bising, dan penuh distraksi. Ketika anak sulungku bisa mengenali brain rot dari sudut pandang psikologi, aku merasa bersyukur sekaligus tersentil. Dunia digital sudah sedekat ini—bahkan terlalu dekat—dengan kehidupan kita, dan menjadi tugas kita untuk mengarahkan diri dan anak-anak agar tidak tenggelam di dalamnya.
Karena otak kita bukan tempat buangan konten viral. Ia berhak mendapat asupan terbaik—baik untuk berpikir, merasa, dan tumbuh.
Jangan jangan saya juga mengalami brain root, soalnya kadang ga sadar ketika scroll tiktok, eh sudah satu jam sendiri. memang kita harus tahu batasan waktu ya mbak ketika sedang akses media sosial
BalasHapusWow ngeri dampaknya. Baru sadar akan apa itu brain rot...terima kasih reminder-nya
BalasHapusDewasa aja bisa kena apalagi anak-anak ya, duh sayang kalau otak anak jadi enggak bisa berkembang
Saya baru tahu istilah Brain Rot ini Mbak
BalasHapusDan memang kalau dipikir, dalam semenit saja, otak bisa langsung penuh dengan informasi yang dangkal. Apalagi kalau scroll beberapa jam ya. Wajar kalau otak jadi lelah. Jadi solusinya dari diri kita sendiri. Kurangi Brain Rot dan cari atau lakukan hal-hal yang lebih bermanfaat
Brain Rot adalah istilah yang benar-benar baru buatku. Walaupun tadinya gak familiar dengan istilah ini, kebetulan di rumah ada toddler juga -keponakan, ortunya dan kami sekeluarga sudah mulai melakukan pembatasan sejak dini. Gak mau ponakan tersayang kayak anak-anak sekitar seusianya yang dibiarkan penggunaan gadget tapi kemudian sering tantrum ketika pemakaiannya dibatasi.
BalasHapusHepi juga di rumah ada si sulung yang kuliah di jurusan yang keren dan berhubungan langsung dengan kehidupan orang-orang di rumah. Jadi ada hmm semacam rem tambahan kalau misalnya kitanya mulai keluar jalur sedikit ya.
Saya suka scroll TikTok kalo sedang antri berjam-jam di rumah sakit
BalasHapuskarena gak ngantuk!
Beda halnya ketika menunggu sambil menyimak ngaji filsafatnya Pak Faiz atau nonton drakor, duh ngantuk berat deh
Ngeri ya kalau kita mengambil dari makna harafiahnya. Dan ini jadi tugas para orang tua loh. Kita harus semakin well-educated supaya mampu memahami situasi terbarukan tentang pengaruh dunia digital dan teknologi kepada anak-anak kita.
BalasHapusHarus diri kitanya juga ya yang mencegah dari penggunaan layar hape yang lama. Karena memang bahaya juga laporannya, paling deket deh bikin mata sakit dan lelah
BalasHapusSemakin menjadi tantangan bagi orang tua zaman sekarang yang baru punya anak. Karena godaan mengenal gawai lebih dini tentu ada. Nah, harus lebih extra deh menjaganya. Jangan sampai anak udah terkena brain rot sejak kecil
BalasHapusSemakin maraknya konten anomali yang absurd tuh makin menambah kasus brain rot sih ya. Aku sih nggak yang terlalu tahu banyak soal anomali. Cuma bikin bikin jadi kayak menormalisasi hal yang aneh.
BalasHapusBarusan kemarin lihat perbandingan otak yang sering lihat konten video pendek dengan yang tidak. Yang tidak, lebih berwarna. Terus nemu juga istilah brain rot, emang sengeri itu ya efek terlalu sering nonton video pendek
BalasHapusSaya paling khawatir tentang brain root ini. Karena scrolling medsos juga hal penting bagi pekerjaan saya. Sehari paling tidak 1 jam saya wajib melakukannya, tapi dibagi dalam 3 term.
BalasHapusYang ngeri itu para anak sekolah yang melakukannya tanpa batas. Makanya saya cerewat banget kalau anak terlalu lama scrolling tanpa tujuan.