
Bagi saya, menulis novel bukan hanya soal mengisahkan sebuah cerita, tetapi juga menyalurkan potongan hidup, kegelisahan, dan mimpi yang tak bisa diungkapkan dengan cara lain. Setiap novel yang saya tulis adalah perjalanan pribadi yang membekas, baik saat proses menulis maupun ketika akhirnya bertemu dengan pembaca.
Novel-novel saya seperti Ayugesa, Bes: Son of Science, Tanpa Warnamu, Diary Ingin Cerita, dan Rekonsiliasi 2004 lahir dari titik awal yang berbeda. Ada yang muncul dari kenangan masa lalu, pengamatan sosial, maupun pertanyaan sederhana yang ternyata membawa saya ke perjalanan cerita yang panjang.
1. Menemukan Ide yang Kuat
Ide sering kali datang tanpa aba-aba — di perjalanan, saat membaca berita, atau saat merenung sendirian. Rekonsiliasi 2004 lahir dari keinginan saya untuk menggali dinamika politik dan emosi manusia dalam situasi kritis. Sementara Tanpa Warnamu berawal dari pertanyaan, “Bagaimana jika kehilangan mengubah seseorang selamanya?”
2. Mengenal Karakter Utama
Karakter adalah jantung cerita. Saya selalu menyelami kehidupan mereka: latar belakang, tujuan, dan kelemahan. Ayugesa adalah sosok yang keras di luar tetapi rapuh di dalam, sedangkan tokoh dalam Bes: Son of Science membawa kompleksitas antara kecerdasan luar biasa dan pergulatan batin.
3. Menyusun Alur Cerita
Saya bukan tipe yang membuat peta cerita super detail, tetapi saya selalu tahu titik awal, puncak konflik, dan akhir. Misalnya di Tanpa Warnamu, sejak awal saya tahu bagaimana sang tokoh akan dipaksa menghadapi kenyataan pahit, meskipun detail perjalanannya berkembang di tengah proses menulis.
4. Menentukan Suara dan Sudut Pandang
Pilihan narasi memengaruhi rasa cerita. Diary Ingin Cerita menggunakan sudut pandang yang intim seperti membaca curhatan, sementara Rekonsiliasi 2004 menggunakan narasi yang lebih luas untuk menangkap kompleksitas konflik sosial dan politik.
5. Menulis dengan Konsistensi
Novel tidak akan selesai hanya dengan menunggu inspirasi. Saat menulis Tanpa Warnamu dan Rekonsiliasi 2004, saya memiliki target kata harian karena mengikuti tantangan menulis dan berusaha mematuhinya, bahkan ketika hasilnya terasa kurang. Konsistensi jauh lebih penting daripada sempurna sejak awal.
6. Revisi adalah Teman
Draf pertama hanyalah fondasi. Revisi sering memakan waktu lebih lama, tetapi di situlah cerita menemukan bentuk terbaiknya. Ayugesa bahkan kehilangan satu subplot favorit saya karena ternyata mengaburkan fokus utama.
7. Membaca untuk Menulis Lebih Baik
Membaca karya penulis lain membantu saya belajar teknik membangun emosi, mengatur tempo, dan memperkaya dialog. Ini membuat setiap novel berikutnya terasa seperti langkah maju dari yang sebelumnya.
8. Menikmati Proses
Menulis novel adalah perjalanan penuh tantangan sekaligus kenikmatan. Setiap akhir cerita bukanlah titik henti, melainkan undangan untuk memulai perjalanan baru bersama karakter lain yang menunggu untuk diceritakan.
💡 Kesimpulan:
Novel yang kuat lahir dari kombinasi ide yang menyala, kerja keras, dan keberanian untuk membuka diri kepada pembaca. Jika Anda punya cerita yang terus menghantui pikiran, jangan biarkan ia terkurung di kepala — mulailah menulisnya sekarang. Ada yang mau Anda bagikan soal proses menulis di kolom komentar?
📚 Selamat Menikmati Karya
Kalau Anda tertarik untuk melihat hasil proses saya menulis novel, Ayugesa, Bes: Son of Science, Tanpa Warnamu, Diary Ingin Cerita, Imperfect Family, dan Rekonsiliasi 2004 kini tersedia untuk Anda miliki. Order semua novel tersebut langsung di Instagram: @bukufaridapane, ya. Terima kasih!
Keren, Mba..produktif sekali menulis novelnya
BalasHapusTerima kasih sudah membagikan tips dan langkah menuliskannya
Dengan mengikuti langkah-langkah ini, bisa nih memulai perjalanan menulis novel dengan lebih terarah dan efektif
Yuk lah menulis novel
HapusMENIKMATI PROSES. Poin terakhir yang makjleb banget deh. Selama menulis dan memproduksi buku, menikmati proses adalah penyemangat yang bermakna sekali. Karena sejatinya tidak semua tahap akan mudah kita lalui. Selalu ada gangguan, tantangan, kesabaran yang seluas samudra, dan semangat yang tak boleh luntur.
BalasHapusBegitulah
HapusTeman saya pernah minta bantuan untuk mereview novelnya
BalasHapusMasalahnya tokohnya terlalu Mary Sue, terlalu sempurna
yang saya pahami sosok itu menggambarkan si penulis dalam wujud sempurna
Tapi kan jadinya sebel
Ah iya sih, sebel kalau begitu
HapusSaya selalu kagum dengan penulis novel. Bisa gitu loh menuliskan, selain panjang tentunya, harus ada alur kisah yang menarik. Sukses selalu ya Mbak dengan novel-novelnya...
BalasHapusAamiin...
HapusSejak dulu, aku tuh pingin menulis novel. Tapi, soal konsistensi tuh aku kurang baik. Ada kalanya, aku punya semangat menggebu untuk menulis. Di lain waktu, eh rasa malas menyapa tanpa ampun. Sampai nggak pernah jadi kalau mau nulis novel. My bad.
BalasHapusYuk bisa yuk...
HapusMashaAllaa yaa, ka Faridaa..
BalasHapusInspirasi bisa dateng kapan aja dan dimana aja, namun gak semua orang bisa menuangkannya menjadi sebuah karya.
Ka Farida kereen bangeett~
Sukses selalu buat ka Faridaa..
Semoga karya-karyanya semakin banyaakk..
Dan best seller ya. Aamiin...
HapusTips nya bisa diikuti ini kak. Apalagi yang bagian konsistensi ini memang PR luar biasa. Daku ada yang belum kelar naskahnya dari kapan tahu wkwkwk. Do'akan daku ya agar bisa menyelesaikan nya dan jadi buku terbit
BalasHapusAamiin...
Hapuspaling muter otak adalah saat revisi tiba tapi bener kata kakak bahwa harus dijadikan teman :") semangat untuk para penulis
BalasHapus